Wednesday, December 23, 2009

dan Gadis itu Dulu Pernah Menjadi Aku...........

Dia....
Anak perempuan berusia sekitar 4 tahun dengan rambut berkuncir kuda dan poni memanjang di dahinya. Cantik, menarik, dan cerdas. Gaya bicaranya juga sangat menyenangkan.....


Aku ingin menjadi seperti dia lagi. Gadis kecil yang menggelayut manja di bahu Sang Ayah. Gadis kecil yang merajuk penuh nuansa kemanjaan seorang anak pada Ayahnya.......dan gadis itu dulu pernah menjadi Aku.

Aku iri melihatnya. Dengan semu bahagia gadis menggandeng tangan Sang Ibu. Seperti hendak pergi ke suatu tempat dekat. Terbukti dari apa yang dikenakannya tak semegah jika hendak pergi jauh. Satu yang tak bisa kulupa... ekspresi mereka yang luar biasa. Semesta pun menyimpan pengakuan bahwa hubungan mereka terlalu istimewa untuk sekedar dilisankan saja........ dan gadis itu dulu pernah menjadi Aku.

Manakala aku melihatnya murung, Aku mendapati ayahnya atau ibunya atau keduanya datang mendekat dan mengusap kepalanya dengan penuh kehangatan. Memandangnya dengan penuh rasa sayang. dan jika tangis Si Gadis mulai pecah, menghamburlah dekapan hangat dan penuh cinta dari salah satu atau bahkan keduanya sekaligus...... dan gadis itu pun dulu pernah menjadi Aku.

Jika satu bentuk kesenangan sedang menyapa gadis itu, Ayah ibunya pun tiada jemu-jemunya bersyukur dan mengucap terima kasih pada Gusti Allah yang telah memberikan bahagia itu untuk gadis kecilnya. Karena memang gadis itu adalah anugerah terindah bagi ayah dan ibunya.......... dan gadis itu dulu pernah menjadi Aku.

Pada masa ini, hanya ada syukur yang terucap dan terasakan karena Dia telah memberiku kesempatan untuk menjadi seorang gadis kecil yang sangat beruntung pada masa sebelum ini. Dan kini kurindukan untuk kembali menjadi gadis itu.........

Saturday, December 5, 2009

Seni Membenci


Tidak ada manusia manapun yang bercita-cita untuk menjadi obyek kebencian orang lain, sejahat apapun yang telah dilakukannya. Karena dibenci memang tidaklah nyaman. Rasanya semua yang kita lakukan dan hasilkan (meskipun dengan pengorbanan yang luar biasa) akan tampak sangat termarjinalkan dan murah di hadapan orang yg membenci kita. Jangankan apresiasi, melihat pun pasti enggan. Segala kebaikan menjadi tidak baik jika penilaian hanya berlandaskan faktor kebencian semata.

Sayangnya, tidaklah mudah untuk membuat orang-orang di sekitar kita untuk tidak membenci kita. Perbuatan baik dan tingkah manis kita di hadapan mereka ternyata belum tentu membuat mereka semua nyaman dan tidak membenci kita. Karena pada dasarnya, seorang manusia tidak butuh banyak alasan untuk membenci manusia yang lainnya. Semua konflik yang nantinya akan menjadi alasan kuat untuk membenci tidak perlu melibatkan manusia lain di luar dirinya sendiri. Ya... karena membenci adalah perkara yang sangat mudah terjadi akibat masalah internal si pembenci.

Hati yang bermasalah dalam mensyukuri apa yang telah didapatnya, merasa terganggu atas pencapaian orang lain, dan berbagai sebab serupa dapat menjadi faktor utama dalam menimbulkan benih-benih kebencian yang siap dipupuk menjadi suatu konspirasi penghancuran yang berakibat fatal. Sebaik apapun respon kita terhadap orang lain yang (seandainya) membenci kita, manakala hatinya sudah bersikukuh untuk membenci, maka sampai kapanpun kebaikan kita tak kan pernah bernilai di depannya. Dan dalam kasus ini, jelas bahwa hati sang pembencilah yang sesungguhnya bermasalah.

Banyak membenci sangatlah menyakitkan. Jauh lebih menyakitkan dari apa yang telah diterima sang obyek kebencian. Detik-detiknya terasa begitu menyiksa. Kebahagiaannya pun menjadi sangat tergantung dengan orang lain. Ya... karena sang pembenci tidak dapat membuat kebahagiaan atas hatinya sendiri. Ia hanya akan bahagia jikalau orang yang ia benci tidak mendapatkan kebahagiaan. Segala hal yang tampak paradoks seperti inilah yang membuat sang pembenci tidak bisa menikmati hidupnya dengan penuh kewajaran. semua perilaku dikendalikan oleh emosi dan nafsu semata. Hidup menjadi penuh dengan kobaran api (panas) di saat semua orang menikmati ketenangan hidup. Bahkan, pada level tertentu sang pembenci (bisa saja) tidak mengenali dirinya lagi. Kebencian dapat mematikan akal, hati, dan kehidupan. Tak dapat dibayangkan manakala hidup sang pembenci sarat dengan kebencian yang bermuara pada kekhawatiran dan kecemasan terhadap dirinya sendiri. Mungkin di saat itulah sang ia telah melupakan arti ketulusan dan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Bodohnya, dengan segala ketidaknyamanan yang sudah pasti akan terjadi, masih ada juga manusia yang tetap membenci manusia yang lainnya......

Wednesday, December 2, 2009

Kamuflase Persahabatan


Persahabatan tidak pernah membatasi kita dalam segala hal, termasuk perasaan kita sendiri. Persahabatan bukanlah sesuatu yang lahir hanya dari rahim persamaan semata, karena perbedaan membuat tampak indah wujudnya. Persahabatan adalah indah jika ada dalam koridor ketulusan yang tepat dan tanpa pamrih yang ikut bermain di dalamnya......


Setiap dari kita, bagaimanapun kondisi dan keadaan kita mungkin memiliki teman dekat atau yang biasa kita panggil sahabat. Dari suatu perkenalan hingga pada akhirnya terjadi suatu kenyamanan dan kepercayaan berending persahabatan. Hal ini biasa dan sangat lumrah dalam kehidupan. Karena konteks manusia yang ingin diperhatikan dan tidak bisa hidup sendiri telah mewajarkan hal tersebut. Perasaan pun seharusnya tertumpah secara sempurna dalam hubungan ini. Karena idealnya, dalam persahabatan yang hakiki itu memang sangat sensitif dengan yang namanya hati. Oleh karena itu, maka kehati-hatian kita dalam membawa perasaan kita yang pada akhirnya terlarut di dalam persahabatan ini harus dioptimalkan. Jangan sampai perasaan yang semula tulus menjadi bermotif (lain) dan akhirnya akan menghancurkan persahabatan itu sendiri.

Betapa anehnya seorang laki-laki dewasa yang berkata "Aku ini sahabatmu" kepada seorang perempuan dewasa pula. Mengapa Saya berani mengatakannya aneh? Jelas, karena perasaan yang akan bermain di dalam label persahabatan itu akan sangat mungkin sekali untuk terdistorsi menjadi perasaan yang tidak lazim dalam persahabatan. Bukankah banyak fenomena perselingkuhan suami istri pun berasal dari yang namanya persahabatan? Lantas, masihkah ada batas toleransi yang harus dipertahankan dalam persahabatan antara laki-laki dan perempuan dewasa?

Beberapa teman yang (sempat) bercerita tentang kisah kedekatannya dengan sang sahabat yang (konon adalah) lawan jenisnya, hampir semuanya tidak ada yang happy ending. Sebetulnya Saya sudah bisa menarik benang merah mengapa sampai ada peristiwa yang hampir seragam seperti itu. Jelas, karena hati dan perasaan seolah menjadi sulit dikendalikan setelah ada dalam naungan persahabatan. Dan pada akhirnya, persahabatan itu yang akan menyakiti dan melukai kita. Sungguh menyedihkan.

Persahabatan yang semula indah itu dengan segera berganti menjadi sesuatu yang menyakitkan. Menjadi menyesal mengenal 'mantan sahabat' kita atau bahkan membencinya. Sama sekali jauh dari ekspektasi deklarasi awal saat persahabatan baru dimulai. Yang saat itu ada saling memahami, endingnya saling mencurigai. Awalnya mencoba melindungi, akhirnya menjadi menyakiti. Benar-benar suatu ketidaknyamanan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Beginilah akibat distorsi perasaan dalam persahabatan.

Bukannya Saya ingin mendiskreditkan persahabatan antara laki-laki dan perempuan (dewasa). Sama sekali tidak. Tapi memang kebanyakan dari mereka sulit untuk memegang kendali hatinya saat sudah berada dalam kondisi seperti itu. Meskipun dalam kenyataannya masih pada label persahabatan, namun pada akhirnya tetaplah menyerempet kepada keintiman hati di antara keduanya. Perasaan saling memiliki yang berlebihan pun akan semakin merusak persahabatan itu sendiri. Dan pada akhirnya, persahabatan itu pun harus berakhir karena tidak memungkinkan untuk diteruskan.

Sebetulnya banyak orang sudah memahami akan konsekuensi ini, bahkan sebelum mereka mulai berikrar dalam persahabatan yang (katanya) suci antara laki-laki dan perempuan dewasa. Karena pada intinya, mereka sudah faham betul apa yang akan mereka hadapi nantinya, termasuk kesulitan mengendalikan sang hati di kemudian hari..... Sayangnya mereka tidak mengindahkan peringatan hatinya dan terus melanggar batas dari norma persahabatan ini. Allahu'alam bishowab...

esp 4 both of u.....
Smoga sakit yang dirasakan tidak sekedar sakit, tapi ada hikmah yang terambil setelah semuanya....:-)