Saturday, December 5, 2009

Seni Membenci


Tidak ada manusia manapun yang bercita-cita untuk menjadi obyek kebencian orang lain, sejahat apapun yang telah dilakukannya. Karena dibenci memang tidaklah nyaman. Rasanya semua yang kita lakukan dan hasilkan (meskipun dengan pengorbanan yang luar biasa) akan tampak sangat termarjinalkan dan murah di hadapan orang yg membenci kita. Jangankan apresiasi, melihat pun pasti enggan. Segala kebaikan menjadi tidak baik jika penilaian hanya berlandaskan faktor kebencian semata.

Sayangnya, tidaklah mudah untuk membuat orang-orang di sekitar kita untuk tidak membenci kita. Perbuatan baik dan tingkah manis kita di hadapan mereka ternyata belum tentu membuat mereka semua nyaman dan tidak membenci kita. Karena pada dasarnya, seorang manusia tidak butuh banyak alasan untuk membenci manusia yang lainnya. Semua konflik yang nantinya akan menjadi alasan kuat untuk membenci tidak perlu melibatkan manusia lain di luar dirinya sendiri. Ya... karena membenci adalah perkara yang sangat mudah terjadi akibat masalah internal si pembenci.

Hati yang bermasalah dalam mensyukuri apa yang telah didapatnya, merasa terganggu atas pencapaian orang lain, dan berbagai sebab serupa dapat menjadi faktor utama dalam menimbulkan benih-benih kebencian yang siap dipupuk menjadi suatu konspirasi penghancuran yang berakibat fatal. Sebaik apapun respon kita terhadap orang lain yang (seandainya) membenci kita, manakala hatinya sudah bersikukuh untuk membenci, maka sampai kapanpun kebaikan kita tak kan pernah bernilai di depannya. Dan dalam kasus ini, jelas bahwa hati sang pembencilah yang sesungguhnya bermasalah.

Banyak membenci sangatlah menyakitkan. Jauh lebih menyakitkan dari apa yang telah diterima sang obyek kebencian. Detik-detiknya terasa begitu menyiksa. Kebahagiaannya pun menjadi sangat tergantung dengan orang lain. Ya... karena sang pembenci tidak dapat membuat kebahagiaan atas hatinya sendiri. Ia hanya akan bahagia jikalau orang yang ia benci tidak mendapatkan kebahagiaan. Segala hal yang tampak paradoks seperti inilah yang membuat sang pembenci tidak bisa menikmati hidupnya dengan penuh kewajaran. semua perilaku dikendalikan oleh emosi dan nafsu semata. Hidup menjadi penuh dengan kobaran api (panas) di saat semua orang menikmati ketenangan hidup. Bahkan, pada level tertentu sang pembenci (bisa saja) tidak mengenali dirinya lagi. Kebencian dapat mematikan akal, hati, dan kehidupan. Tak dapat dibayangkan manakala hidup sang pembenci sarat dengan kebencian yang bermuara pada kekhawatiran dan kecemasan terhadap dirinya sendiri. Mungkin di saat itulah sang ia telah melupakan arti ketulusan dan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Bodohnya, dengan segala ketidaknyamanan yang sudah pasti akan terjadi, masih ada juga manusia yang tetap membenci manusia yang lainnya......

No comments:

Post a Comment