Sunday, November 29, 2009

Yakinkan, Akulah Sang Juara...!


Hidup ini bukanlah suatu rekayasa manusia yang dengan mudahnya kita dapat menentukan hasil akhir atas apa yang telah kita awali dengan suatu keyakinan. Hidup pun bukanlah suatu kebetulan-kebetulan yang dengan mudahnya dapat diterka dan dikira-kira hasil akhirnya. Hidup adalah suatu proses pembelajaran yang panjang dan baru akan putus saat seorang manusia sudah tidak hidup lagi. Oleh karenanya, tidak ada jalan lain kecuali menghidupkan hidup dengan rangkaian prestasi dunia dan akhirat demi mencapai kualitas super seorang anak manusia.

Tidak perlu menyalahkan keterbatasan yang kita miliki sebagai penghalang langkah maju kita. Bukan berarti seorang yang tidak dibekali apapun tidak mampu meraih apapun bukan? Mengapa kita tidak belajar dari beragam kenyataan yang ada bahwa sesungguhnya keterbatasan yang kita miliki dapat menjadi pemompa motivasi untuk berubah? Bukan kemudian larut dalam ketidakberdayaan dan tunduk pada kenyataan yang seolah meyakinkan bahwa memang kita tidak mampu berbuat lebih dari apa yang seharusnya menjadi cita-cita kita.

Banyak makna tersembunyi dari kata belajar itu sendiri. Dari tidak mampu menjadi mampu ataupun dari tidak bisa menjadi bisa, semua termasuk dalam kategori belajar. Semua tentunya berawal dari keyakinan bahwa memang pada akhirnya kita mampu menaklukan segala keterbatasan kita. Bukankah saat terlahir ke dunia ini kita pun diliputi berbagai keterbatasan? Jangankan untuk berlari atau berjalan. Berbicara saja kita tidak bisa. Tapi ikhtiar dari kita dan orang-orang terdekat kita telah membuat kita belajar secara perlahan untuk menjadi pandai berbicara, berjalan, berlari, dan sebagainya. Lihatlah semua masa lalu kita. Untuk mengenal angka hingga menjadi seorang ahli hitung pun tidak terjadi dalam sekejap saja. Semua membutuhkan proses belajar yang tanpa henti.

Terjatuh berkali-kali adalah hal wajar dalam sebuah proses belajar berlari. Demikian juga halnya kita. Mungkin kita bisa mengenang masa kecil kita yang pantang menyerah ketika harus berkali-kali terjatuh dari sepeda kecil kita hanya untuk bisa mengitari komplek perumahan bersama teman-teman sebaya kita. Berkali pun kita menangis, tidak memberi efek jera yang signifikan. Semua karena motivasi kita untuk mampu dan bisa bersepeda melebihi dari rasa takut kita untuk jatuh dan terluka.

Teman, bukankah sekarang masing-masing dari kita sudah dewasa? Bukanlah saatnya untuk takut menghadapi kenyataan apa yang akan menyapa kita pada akhirnya nanti. Kita adalah manusia-manusia unggul dengan cita-cita besar. Ingat itu. Manakala kita harus jatuh, terluka, bahkan patah dalam perjalanan mencapai impian dan cita-cita itu adalah rangkaian proses yang harus kita jalani untuk mencapai kemenangan nanti. Karena seorang juara, tidak akan mudah memenangkan pertarungan. Dan akan banyak rintangan yang akan membuat senyum kemenangannya menjadi sangat manis pada saatnya nanti.

Saturday, November 28, 2009

Tersenyumlah Untuk Hidupmu.....


Belakangan ini banyak kujumpai keluhan-keluhan kesedihan dari beberapa sahabat di sekitarku. Beragam keluhan itu di antaranya berisi suatu ketidakterimaan (atau suatu ketidaksiapan) mereka dalam menghadapi takdirnya. Tak jarang pula ada airmata yang turut berbicara mengantarkan mereka pada suatu keadaan di mana seolah-olah mereka telah menjadi korban kekejian fakta yang mengharu biru di dalam benaknya....Hmmm....

Beginilah hidup. Pada satu titik kita merasa telah terdzolimi akan kebengisan takdir yang menyapa... Pada titik yang lain kita pun pasti pernah dimanjakan oleh kemuliaan takdir yang (seringnya) membuat kita lupa bersyukur. Sebetulnya apa yang ada di dunia ini sudah berjalan pada asas keseimbangan dan tidak berat sebelah. Hanya saja, seringkali kita yang tidak bisa menempatkan hati pada posisi siaga menerima apa yang telah ditetapkanNya. Tidak salah bila seorang manusia mempunyai ekspektasi yang tinggi dalam hidupnya. Namun, perlu dicatat juga bahwa takdirNya tidak selalu berjalan dalam koridor ekspektasi kita, karena bisa saja apa yang kita harapkan justru akan menghancurkan diri kita sendiri karena memang bukan itu yang sesungguhnya terbaik bagi kita.

Namun nyatanya, masih banyak orang dewasa yang belum bisa menerima ini. Masih banyak yang mencoba memaksa Tuhan agar menjadikan takdirnya seperti apa yang diharapkannya. Jika ia tidak berhasil memaksa Tuhan, maka ia pun akan marah dan beranggapan bahwa Tuhannya tidak lagi menyayanginya. Akhirnya manusia tadi pun kan merasa menjadi korban dari kekejaman takdir Tuhan. Dan ternyata mental-mental manusia seperti ini masih sangat banyak terdapat di dunia ini (mungkin juga termasuk Saya).

Semua manusia telah diajarkan berikhtiar untuk apa yang ingin diraih dan dicita-citakannya. Dan di dalam proses ikhtiar itulah Allah akan menguji kesungguhan kita untuk mendapatkan apa yang sesungguhnya menjadi tujuan kita. Para syaitan yang sudah terkutuk itu pun tidak pernah bosan menggoda manusia untuk keluar dari track ikhtiar yang seharusnya, yakni dengan menghalalkan segala cara yang sudah jelas tidak halal serupa dengan membenarkan suatu proses yang sudah jelas tidak benar. Dan keistiqomahan manusia pun diuji. Setelah itu, mash ada ujian keikhlasan dan kesabaran serta keteguhan yang harus diselesaikan dengan baik. Baru terakhir, manusia tadi akan merasakan manisnya buah dari keimanannya yang kokoh dan dijaga sedemikian rupa.

Semua memang suatu rangkaian proses panjang dan pembelajaran yang butuh waktu lama. Seiring dengan bertambahnya kedewasaan seseorang, maka kepasrahan dan keimananan kepada Tuhannya pun idealnya semakin meningkat. Meski kedewasaan ini pun bukanlah jaminan bagi seseorang untuk tidak pernah merasa patah dan kecewa. Karena perasaan semacam ini adalah manusiawi selagi kita masih memiliki hati dalam keseharian kita. Manakala apa yang telah digariskanNya tidak sesuai dengan ekspektasi kita, wajar jika kita kecewa, patah, ataupun sakit. Namun, sebagai orang yang mengaku beriman, sudah selayaknyalah kita memiliki suatu pola dan terapi sendiri untuk menyikapi perasaan-perasaan semacam itu jikalau tiba-tiba kita merasakannya.... Allahu'alam bishowab.

Sunday, November 8, 2009

M I M P I



Setiap manusia, siapapun itu dan bagaimanapun kondisinya, selama ia masih mempunyai alasan untuk hidup pastilah memiliki mimpi. Karena tanpa kita sadari, bahwa langkah yang telah kita torehkan pada masa sekarang ini pun adalah hasil dari mimpi kita di masa yang lalu. Mimpi itulah yang pada akhirnya kita menangkan untuk menjadi suatu keberhasilan yang berarti dalam kehidupan ini. Dengan proses pencapaian yang tak mudah, mimpi pun akan menjadi suatu tarbiyah tersendiri bagi kita, sang pemilik mimpi dalam penataan keoptimisan dan keyakinan akan setiap pilihan yang dihadapkan.

Tidak ada seorang (normal) pun yang bermimpi untuk gagal, tidak berguna, ataupun kalah. Mimpi itu harus besar dan tinggi, sehingga memaksa kita untuk mengeluarkan seluruh kekuatan dalam meraihnya. Manakala mimpi kita hanya berada pada standar 'sedang-sedang saja' (dengan alasan jika kita terlampau tinggi menggantung mimpi, maka saat terjatuh kita sakit), maka kita akan selamanya menjadi seorang yang punya pencapaian 'sedang-sedang saja' pula. Tidak baik menjadi seorang pengecut sebelum maju berperang bukan?

Hidup itu untuk diperjuangkan meski harus berkali-kali terjatuh. Hidup bukanlah suatu bonus gratis dengan semua kebahagiaannya. Hidup adalah hidup. Yang menuntut kita untuk bergerak dan bergerak terus  karena berhenti berarti mati. Salah satu dari parameter kehidupan adalah bergerak, termasuk bergerak menuju mimpi-mimpi yang telah kita miliki. Dapat dibayangkan jika mimpi yang kita miliki hanyalah sebatas 'sedang' maka usaha kita terbesar pun hanya berada pada level 'sedang'. Dan kualitas perjuangan kita pun akan terasa sangat 'sedang'. Dapat dibayangkan jika kualitas 'sedang' itu melekat sebagai predikat seumur hidup yang akan melekat dalam keseharian kita. Proses perbaikan dalam hidup pun seolah berjalan di tempat dan tidak membuahkan hasil.


Setiap manusia (termasuk Saya) sangat menginginkan perubahan-perubahan yang berarti dalam hidup yang bermula dari tangan kita sendiri. Di mana space untuk kebahagiaan adalah kewajiban kita untuk terus -menerus memperluasnya dari hari ke hari dengan prestasi yang kita miliki. Maka, mimpi adalah pemicu motivasi terbesar untuk menjadi besar. Mimpi juga sebagai sarana mempertangguh pribadi seseorang. Dengan mimpi seseorang dapat merasakan sakitnya kala terjatuh dan manisnya keberhasilan. Bukan justru keterjatuhan kita kala gagal meraih mimpi itu yang lantas menyurutkan kita dari mimpi yang lebih besar. Seharusnya, setelah kita dijatuhkan dengan kegagalan yang menimpa, kita menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Karena kegagalan yang diberikanNya bukan tanpa sebab, melainkan itu pasti membuat kita semakin tangguh dan tangguh lagi.

Mimpi pun dapat menentukan kualitas seseorang. Tanyakan saja pada orang-orang yang sudah menjadi besar pada masa sekarang ini tentang seperti apa mimpinya di masa lalu. Tidak ada keberhasilan yang diraih dengan suatu moment kebetulan semata. Seandainya ada kemudahan, itu mungkin karena Dia memudahkan usaha kita. Tapi tetap ada usaha atas perolehan keberhasilan tersebut. Kalau usaha saja tidak ada, bagaimana bisa dipermudah?

Mulailah bermimpi besar untuk menjadi seseorang yang besar dengan pencapaian yang besar pula, tak peduli berapa kalipun kau harus gagal dan terjatuh.....

Sunday, November 1, 2009

M A A F

Dapatkah kita menghitung tentang berapa banyak kata maaf yang telah kita ucapkan? Atau mungkin dapatkah kita memperkirakan jumlah kata maaf yang telah kita terima?
Maaf, kata yang seolah dapat menghapus semua kesalahan dan luka yang pernah terjadi serta terasakan sebelumnya. 
Dan maaf, kata yang amat mudah diucapkan oleh siapapun, termasuk para penjahat sekalipun....


Suatu waktu kita berbuat salah atau merugikan orang lain sekalipun biasanya kata yang pertama kali terlintas dalam benak kita adalah 'maaf'. Entah kata maaf itu meluncur dari hati ataupun tidak, yang jelas lisan manusia memang sudah terbiasa berujar itu untuk meloloskan kesalahannya dan membuat ridho pada obyek yang dikenai atas perbuatan salahnya tersebut. Kata maaf adalah kata yang begitu mulia dan untuk meminta maaf adalah pekerjaan yang mulia juga. Hanya saja, kadang kita terlalu mudahnya dalam meloloskan perbuatan salah kita sendiri karena prosedur meminta maaf yang begitu sederhananya.

Dalam kesederhanaan prosedur meminta maaf yang pada masa sekarang ini, sepertinya justru membuat kata maaf kehilangan kesaktiannya. Kata maaf tidak lagi dapat menghapus tuntas segala luka yang terjadi akibat apa yang telah terjadi sebelum itu, melainkan hanya sebagai pelengkap kesalahan saja. Selesai berbuat salah, lalu meminta maaf, tuntas sudah urusan. Padahal seharusnya ada yang lebih dari itu..... yakni solusi. Sudahkan kata maaf kita menjadi solusi dan memperbaiki segala kerusakan atas kesalahan yang telah kita lakukan? Kerusakan di sini dapat berarti kerusakan materi atau yang lainnya yang lebih sensitif. Hati misalnya, atau moril juga bisa. Dan itu belum tentu bisa selesai dengan kata maaf saja. Harus ada solusi konkret dan komitmen lain yang mengikuti setelahnya.

Pelafalan kata maaf yang terlampau sering pun akan dapat mengurangi esensi dan kesakralan makna maaf  itu sendiri. Untuk frekuensi yang sering, kata maaf dapat mendegradasikan makna yang melekat di dalamnya dan kemudian menjadi suatu kebiasaan yang tidak lagi istimewa. Sehingga, pada akhirnya akan muncul kesengajaan-kesengajaan dalam melakukan kesalahan karena setelah itu ada kata yang menghapusnya, maaf.

Memang tidak semua orang berlaku demikian. Hanya saja, rasanya terlalu murah sekali harga sebuah kesalahan jika hanya dibasuh kata maaf yang sudah menjadi kebiasaan belaka. Namun, manakala kata maaf itu terangkai dari dalam hati yang tulus disertai rasa penyesalan mendalam atas kesalahannya, kemudian setelah itu ada komitmen yang mengikutinya (entah untuk tidak mengulanginya lagi atau justru mencari solusi atas segala kesalahan yang telah dilakukannya), maka kata maaf itu barulah berharga dan patut untuk dilafalkan. Jadi, mungkin yang menjadi koreksi bagi diri kita masing-masing, apakah kata maaf yang biasa kita bagi-bagikan kepada sesama kita itu sudah memenuhi standar apologizing properly atau belum?

(tx sista....4 inspiring me 4 d'phrase apologizing properly. i've expert 2 do right now...)