Adakah dalam mencintai kita merasa kelelahan? Merasa tak mampu lagi untuk meneruskannya? Atau bahkan sudah mendeklarasikan kata menyerah dan putus asa? Jika kita memang telah merasa demikian, mungkin saja kita telah masuk dalam daftar pecundang-pecundang sejati yang tidak bisa mencintai dengan selayaknya. Memang dalam urusan mencintai tidak ada hitungan untung-rugi, menang-kalah, ataupun benar-salah. Tapi, manakala kita keliru dalam menyematkan rasa tersebut, dapat dipastikan imbasnya akan panjang dan kemana-mana.
Mencintai bukanlah proses singkat yang dapat dilakukan oleh semua orang. Namun, dengan ujubnya manusia sering mengatakan bahwa ia telah dapat mencintai seseorang dengan sepenuh hati, sesaat kemudian sebelum ia mengatakan telah berhenti mencintai dan mulai membencinya. Maka, tak heran jika manusia-manusia ini sering mempermainkan hatinya sendiri untuk mencintai dan kemudian membenci secara bersamaan. Memang, tidak ada yang kekal di dunia ini, termasuk perasaan cinta dan benci itu sendiri. Itulah mengapa kita tidak boleh mencintai seseorang dalam porsi berlebih karena mungkin pada masa yang akan datang orang tersebut akan menjadi orang yang kita benci, dan sebaliknya.
Mencintai memang dapat dilakukan oleh semua orang, namun mencintai dengan benar tidak dapat dilakukan oleh banyak orang (termasuk juga saya). Seperti sudah saya tulis pada postingan sebelumnya, mencintai memang membutuhkan energi yang luar biasa. Sehingga senada dengan apa yang telah ditulis oleh ust. Anis Matta dalam "serial cinta"nya bahwa mencintai adalah pekerjaan orang kuat. Tidak sembarang orang mampu melakukannya meski hampir semua orang mampu mendeklarasikannya. Karena mencintai adalah suatu aktifitas, bukan hanya pengakuan. Idealnya sebuah aktifitas, ia pasti selalu butuh energi, kekuatan, dan niat yang jelas untuk mengeksekusinya atau aktifitas itu menjadi gagal untuk dilakukan.
Berbicara masalah parameter keberhasilan dalam mencintai, terlepas dari cinta yang sampai atau tidak, hendaklah kita mendasarkan diri bahwa mencintai adalah suatu proses, bukan hasil akhir. Dan uniknya proses ini, (menurut saya) mencintai tidak pernah menuntut hasil akhir apapun untuk menentukan kesuksesannya. Layaknya sebuah proses, maka ia hanya menuntut suatu kebaikan yang barokah dalam proses tersebut. Kebaikan yang dapat mendatangkan kebaikan yang lainnya lagi. Itulah sesungguhnya inti dari proses mencintai (versi saya).
Mencintai layaknya mengeluarkan segala kebaikan yang ada dalam diri seorang pecinta untuk kemudian membaikkan orang-orang yang dicinta. Tidak ada unsur keterpaksaan dan pamrih lain di sana. Mencintai adalah aktifitas tanpa pamrih yang cukup menyita hati dan mengikis jejaring perasaan. Meskipun adakalanya kikisan dalam perasaan itu makin banyak dan menyakitkan, demikianlah cinta mengajak sang empunya perasaan untuk dewasa dan ikhlas. Ya, karena dalam proses ini butuh pembelajaran yang lama dan luar biasa. Bagaimana kita sakit dan "terpaksa" tidak membenci orang yang telah menolak cinta kita adalah salah satu runtutan terberat dalam proses ini. Karena memang mencintai tidak pernah mengharapkan apapun selain kebahagiaan dari orang-orang yang dicinta. Dan mencintai tak bisa diartikan apapun selain proses itu sendiri. Jadi, bukanlah mencintai jika masih ada proses mencintai dan membenci secara bersamaan pada objek yang sama. Karena perasaan benci itu akan memonopoli hati para pecinta manakala hasrat untuk memiliki tak sampai pada realitanya. Dan sekali lagi, pamrih itu bukanlah cinta. Berhenti mencintai bukan karena cinta kita tak sampai, bukan pula karena ia tak pantas lagi untuk dicintai. Berhenti mencintai hanya dapat terjadi jika orang yang kita cinta lebih bahgaia bersama dengan orang yang dia cintai... dan itu bukan kita!
Mencintai bukanlah proses singkat yang dapat dilakukan oleh semua orang. Namun, dengan ujubnya manusia sering mengatakan bahwa ia telah dapat mencintai seseorang dengan sepenuh hati, sesaat kemudian sebelum ia mengatakan telah berhenti mencintai dan mulai membencinya. Maka, tak heran jika manusia-manusia ini sering mempermainkan hatinya sendiri untuk mencintai dan kemudian membenci secara bersamaan. Memang, tidak ada yang kekal di dunia ini, termasuk perasaan cinta dan benci itu sendiri. Itulah mengapa kita tidak boleh mencintai seseorang dalam porsi berlebih karena mungkin pada masa yang akan datang orang tersebut akan menjadi orang yang kita benci, dan sebaliknya.
Mencintai memang dapat dilakukan oleh semua orang, namun mencintai dengan benar tidak dapat dilakukan oleh banyak orang (termasuk juga saya). Seperti sudah saya tulis pada postingan sebelumnya, mencintai memang membutuhkan energi yang luar biasa. Sehingga senada dengan apa yang telah ditulis oleh ust. Anis Matta dalam "serial cinta"nya bahwa mencintai adalah pekerjaan orang kuat. Tidak sembarang orang mampu melakukannya meski hampir semua orang mampu mendeklarasikannya. Karena mencintai adalah suatu aktifitas, bukan hanya pengakuan. Idealnya sebuah aktifitas, ia pasti selalu butuh energi, kekuatan, dan niat yang jelas untuk mengeksekusinya atau aktifitas itu menjadi gagal untuk dilakukan.
Berbicara masalah parameter keberhasilan dalam mencintai, terlepas dari cinta yang sampai atau tidak, hendaklah kita mendasarkan diri bahwa mencintai adalah suatu proses, bukan hasil akhir. Dan uniknya proses ini, (menurut saya) mencintai tidak pernah menuntut hasil akhir apapun untuk menentukan kesuksesannya. Layaknya sebuah proses, maka ia hanya menuntut suatu kebaikan yang barokah dalam proses tersebut. Kebaikan yang dapat mendatangkan kebaikan yang lainnya lagi. Itulah sesungguhnya inti dari proses mencintai (versi saya).
Mencintai layaknya mengeluarkan segala kebaikan yang ada dalam diri seorang pecinta untuk kemudian membaikkan orang-orang yang dicinta. Tidak ada unsur keterpaksaan dan pamrih lain di sana. Mencintai adalah aktifitas tanpa pamrih yang cukup menyita hati dan mengikis jejaring perasaan. Meskipun adakalanya kikisan dalam perasaan itu makin banyak dan menyakitkan, demikianlah cinta mengajak sang empunya perasaan untuk dewasa dan ikhlas. Ya, karena dalam proses ini butuh pembelajaran yang lama dan luar biasa. Bagaimana kita sakit dan "terpaksa" tidak membenci orang yang telah menolak cinta kita adalah salah satu runtutan terberat dalam proses ini. Karena memang mencintai tidak pernah mengharapkan apapun selain kebahagiaan dari orang-orang yang dicinta. Dan mencintai tak bisa diartikan apapun selain proses itu sendiri. Jadi, bukanlah mencintai jika masih ada proses mencintai dan membenci secara bersamaan pada objek yang sama. Karena perasaan benci itu akan memonopoli hati para pecinta manakala hasrat untuk memiliki tak sampai pada realitanya. Dan sekali lagi, pamrih itu bukanlah cinta. Berhenti mencintai bukan karena cinta kita tak sampai, bukan pula karena ia tak pantas lagi untuk dicintai. Berhenti mencintai hanya dapat terjadi jika orang yang kita cinta lebih bahgaia bersama dengan orang yang dia cintai... dan itu bukan kita!
Allahu'alam bishowab