Dalam kehidupan, adakalanya kita mengalami kelelahan yang luar biasa dan tak jarang membuat kita merasa ingin berhenti saja dari semua rutinitas yang ada. Ingin menjebol stigma rutinitas yang kita anggap telah membelenggukan diri kita dari segala bentuk kreatifitas yang "tampak offline" dari lingkungan sekitar kita. Inginnya kalau sudah dalam kondisi seperti ini, serta merta langsunglah telunjuk kita menuding pada kondisi sekitar, rekan kerja, bahkan atasan kita sebagai penyebab utama matinya kreatifitas kita yang belum juga tampak tersebut (semoga memang ada dan belum tampak, bukan karna tidak ada sungguhan).
Jika spontanitas kita justru langsung menuding pihak eksternal di luar diri kita sebgai penyebab utama kemandegan kreatifitas kita, maka selamanya bukan kita yang akan menentukan nasib kita ke depannya dan efek lebih dalamnya adalah kita pulalah yang dengan sadar telah menggantungkan standar bahagia pada diri orang lain. Sesuatu yang tidak seharusnya kita lakukan. Karena idealnya diri kita sendirilah yang menentukan iklim dalam hati kita sendiri. Suasana apapun yang akan bergolak di dalamnya adalah tergantung bagaimana kita dalam menyetel suhu yang tepat untuk keberadaan hati kita, dan tentunya ini akan mengimbas pada mood kita juga.
Tidak pernah ada standar baku kesedihan untuk sebuah kemalangan dan standar baku kebahagiaan untuk sebuah kemujuran. Setiap hati manusia punya takaran masing-masing yang saling berbeda satu sama lainnya. Maka, kadar kesedihan dan kebahagiaan tiap individu pun akan berbeda meski diketahui penyebabnya sama. Semua sangat berkaitan erat dengan karakter dasar dan kedewasaan seseorang dalam menyikapi ujian demi ujian yang diberikan oleh Tuhannya.
Bersinarlah seterik mentari meski banyak manusia memperolok keterikannya. Bercahayalah sebenderang mentari di saat semua manusia merasa silau akan pendarnya. Toh, semua itu hanya opini manusia. Nyatanya, saat mentari tak muncul mereka akan mencari-cari karena membutuhkannya. Lantas, apalagi yang harus diperdebatkan tentang opini manusia selain subjektifitas dan egoisitas belaka? Apalagi untuk opini-opini yang semakin meredupkan sinar kita untuk ke depannya. Berhentilah mendengar untuk sesuatu yang justru akan semakin meremukkan kekokohan individu kita yang sudah dibangun selama lebih dari dua dasawarsa (untuk yang masih berumur 20 tahun-an).
Dan pada akhirnya semua memang akan kembali kepada kita sebagai suatu kesatuan pribadi yang kokoh. Pilihan untuk menjadi manusia yang seperti apapun ada pada diri kita masing-masing. Hanya saja, jika boleh saya mengidentifikasikan diri kita sebagai mentari, yang pada saat teredup dalam kehidupan ini pun ia masih dapat memberikan pesonanya dalam bentuk yang lain lagi, rembulan. Karena begitulah hakikatnya diri kita, selalu memberi kemanfaatan untuk makhluk-makhluk lain di luar diri kita sendiri, bagaimanapun adanya kita. Tak perlu menunggu senang untuk membahagiakan orang lain dan tak perlu menunggu kaya untuk memberi orang lain. Tidak perlulah pula kita banyak mengkalkulasi untung-rugi dalam menolong sesama.
Dan jika kita kini sedang berada dalam masa-masa redup kita, maka mereduplah untuk kemudian memberikan pesona redup kita pada sekitar kita. Jangan pernah sedikitpun terlintas untuk berhenti bercahaya dan memberi. Karena kita adalah anugerah luar biasaNya yang diciptakan untuk membuat segalanya menjadi luar biasa...
Allahu'alam bishowab.
No comments:
Post a Comment