Wednesday, December 23, 2009

dan Gadis itu Dulu Pernah Menjadi Aku...........

Dia....
Anak perempuan berusia sekitar 4 tahun dengan rambut berkuncir kuda dan poni memanjang di dahinya. Cantik, menarik, dan cerdas. Gaya bicaranya juga sangat menyenangkan.....


Aku ingin menjadi seperti dia lagi. Gadis kecil yang menggelayut manja di bahu Sang Ayah. Gadis kecil yang merajuk penuh nuansa kemanjaan seorang anak pada Ayahnya.......dan gadis itu dulu pernah menjadi Aku.

Aku iri melihatnya. Dengan semu bahagia gadis menggandeng tangan Sang Ibu. Seperti hendak pergi ke suatu tempat dekat. Terbukti dari apa yang dikenakannya tak semegah jika hendak pergi jauh. Satu yang tak bisa kulupa... ekspresi mereka yang luar biasa. Semesta pun menyimpan pengakuan bahwa hubungan mereka terlalu istimewa untuk sekedar dilisankan saja........ dan gadis itu dulu pernah menjadi Aku.

Manakala aku melihatnya murung, Aku mendapati ayahnya atau ibunya atau keduanya datang mendekat dan mengusap kepalanya dengan penuh kehangatan. Memandangnya dengan penuh rasa sayang. dan jika tangis Si Gadis mulai pecah, menghamburlah dekapan hangat dan penuh cinta dari salah satu atau bahkan keduanya sekaligus...... dan gadis itu pun dulu pernah menjadi Aku.

Jika satu bentuk kesenangan sedang menyapa gadis itu, Ayah ibunya pun tiada jemu-jemunya bersyukur dan mengucap terima kasih pada Gusti Allah yang telah memberikan bahagia itu untuk gadis kecilnya. Karena memang gadis itu adalah anugerah terindah bagi ayah dan ibunya.......... dan gadis itu dulu pernah menjadi Aku.

Pada masa ini, hanya ada syukur yang terucap dan terasakan karena Dia telah memberiku kesempatan untuk menjadi seorang gadis kecil yang sangat beruntung pada masa sebelum ini. Dan kini kurindukan untuk kembali menjadi gadis itu.........

Saturday, December 5, 2009

Seni Membenci


Tidak ada manusia manapun yang bercita-cita untuk menjadi obyek kebencian orang lain, sejahat apapun yang telah dilakukannya. Karena dibenci memang tidaklah nyaman. Rasanya semua yang kita lakukan dan hasilkan (meskipun dengan pengorbanan yang luar biasa) akan tampak sangat termarjinalkan dan murah di hadapan orang yg membenci kita. Jangankan apresiasi, melihat pun pasti enggan. Segala kebaikan menjadi tidak baik jika penilaian hanya berlandaskan faktor kebencian semata.

Sayangnya, tidaklah mudah untuk membuat orang-orang di sekitar kita untuk tidak membenci kita. Perbuatan baik dan tingkah manis kita di hadapan mereka ternyata belum tentu membuat mereka semua nyaman dan tidak membenci kita. Karena pada dasarnya, seorang manusia tidak butuh banyak alasan untuk membenci manusia yang lainnya. Semua konflik yang nantinya akan menjadi alasan kuat untuk membenci tidak perlu melibatkan manusia lain di luar dirinya sendiri. Ya... karena membenci adalah perkara yang sangat mudah terjadi akibat masalah internal si pembenci.

Hati yang bermasalah dalam mensyukuri apa yang telah didapatnya, merasa terganggu atas pencapaian orang lain, dan berbagai sebab serupa dapat menjadi faktor utama dalam menimbulkan benih-benih kebencian yang siap dipupuk menjadi suatu konspirasi penghancuran yang berakibat fatal. Sebaik apapun respon kita terhadap orang lain yang (seandainya) membenci kita, manakala hatinya sudah bersikukuh untuk membenci, maka sampai kapanpun kebaikan kita tak kan pernah bernilai di depannya. Dan dalam kasus ini, jelas bahwa hati sang pembencilah yang sesungguhnya bermasalah.

Banyak membenci sangatlah menyakitkan. Jauh lebih menyakitkan dari apa yang telah diterima sang obyek kebencian. Detik-detiknya terasa begitu menyiksa. Kebahagiaannya pun menjadi sangat tergantung dengan orang lain. Ya... karena sang pembenci tidak dapat membuat kebahagiaan atas hatinya sendiri. Ia hanya akan bahagia jikalau orang yang ia benci tidak mendapatkan kebahagiaan. Segala hal yang tampak paradoks seperti inilah yang membuat sang pembenci tidak bisa menikmati hidupnya dengan penuh kewajaran. semua perilaku dikendalikan oleh emosi dan nafsu semata. Hidup menjadi penuh dengan kobaran api (panas) di saat semua orang menikmati ketenangan hidup. Bahkan, pada level tertentu sang pembenci (bisa saja) tidak mengenali dirinya lagi. Kebencian dapat mematikan akal, hati, dan kehidupan. Tak dapat dibayangkan manakala hidup sang pembenci sarat dengan kebencian yang bermuara pada kekhawatiran dan kecemasan terhadap dirinya sendiri. Mungkin di saat itulah sang ia telah melupakan arti ketulusan dan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Bodohnya, dengan segala ketidaknyamanan yang sudah pasti akan terjadi, masih ada juga manusia yang tetap membenci manusia yang lainnya......

Wednesday, December 2, 2009

Kamuflase Persahabatan


Persahabatan tidak pernah membatasi kita dalam segala hal, termasuk perasaan kita sendiri. Persahabatan bukanlah sesuatu yang lahir hanya dari rahim persamaan semata, karena perbedaan membuat tampak indah wujudnya. Persahabatan adalah indah jika ada dalam koridor ketulusan yang tepat dan tanpa pamrih yang ikut bermain di dalamnya......


Setiap dari kita, bagaimanapun kondisi dan keadaan kita mungkin memiliki teman dekat atau yang biasa kita panggil sahabat. Dari suatu perkenalan hingga pada akhirnya terjadi suatu kenyamanan dan kepercayaan berending persahabatan. Hal ini biasa dan sangat lumrah dalam kehidupan. Karena konteks manusia yang ingin diperhatikan dan tidak bisa hidup sendiri telah mewajarkan hal tersebut. Perasaan pun seharusnya tertumpah secara sempurna dalam hubungan ini. Karena idealnya, dalam persahabatan yang hakiki itu memang sangat sensitif dengan yang namanya hati. Oleh karena itu, maka kehati-hatian kita dalam membawa perasaan kita yang pada akhirnya terlarut di dalam persahabatan ini harus dioptimalkan. Jangan sampai perasaan yang semula tulus menjadi bermotif (lain) dan akhirnya akan menghancurkan persahabatan itu sendiri.

Betapa anehnya seorang laki-laki dewasa yang berkata "Aku ini sahabatmu" kepada seorang perempuan dewasa pula. Mengapa Saya berani mengatakannya aneh? Jelas, karena perasaan yang akan bermain di dalam label persahabatan itu akan sangat mungkin sekali untuk terdistorsi menjadi perasaan yang tidak lazim dalam persahabatan. Bukankah banyak fenomena perselingkuhan suami istri pun berasal dari yang namanya persahabatan? Lantas, masihkah ada batas toleransi yang harus dipertahankan dalam persahabatan antara laki-laki dan perempuan dewasa?

Beberapa teman yang (sempat) bercerita tentang kisah kedekatannya dengan sang sahabat yang (konon adalah) lawan jenisnya, hampir semuanya tidak ada yang happy ending. Sebetulnya Saya sudah bisa menarik benang merah mengapa sampai ada peristiwa yang hampir seragam seperti itu. Jelas, karena hati dan perasaan seolah menjadi sulit dikendalikan setelah ada dalam naungan persahabatan. Dan pada akhirnya, persahabatan itu yang akan menyakiti dan melukai kita. Sungguh menyedihkan.

Persahabatan yang semula indah itu dengan segera berganti menjadi sesuatu yang menyakitkan. Menjadi menyesal mengenal 'mantan sahabat' kita atau bahkan membencinya. Sama sekali jauh dari ekspektasi deklarasi awal saat persahabatan baru dimulai. Yang saat itu ada saling memahami, endingnya saling mencurigai. Awalnya mencoba melindungi, akhirnya menjadi menyakiti. Benar-benar suatu ketidaknyamanan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Beginilah akibat distorsi perasaan dalam persahabatan.

Bukannya Saya ingin mendiskreditkan persahabatan antara laki-laki dan perempuan (dewasa). Sama sekali tidak. Tapi memang kebanyakan dari mereka sulit untuk memegang kendali hatinya saat sudah berada dalam kondisi seperti itu. Meskipun dalam kenyataannya masih pada label persahabatan, namun pada akhirnya tetaplah menyerempet kepada keintiman hati di antara keduanya. Perasaan saling memiliki yang berlebihan pun akan semakin merusak persahabatan itu sendiri. Dan pada akhirnya, persahabatan itu pun harus berakhir karena tidak memungkinkan untuk diteruskan.

Sebetulnya banyak orang sudah memahami akan konsekuensi ini, bahkan sebelum mereka mulai berikrar dalam persahabatan yang (katanya) suci antara laki-laki dan perempuan dewasa. Karena pada intinya, mereka sudah faham betul apa yang akan mereka hadapi nantinya, termasuk kesulitan mengendalikan sang hati di kemudian hari..... Sayangnya mereka tidak mengindahkan peringatan hatinya dan terus melanggar batas dari norma persahabatan ini. Allahu'alam bishowab...

esp 4 both of u.....
Smoga sakit yang dirasakan tidak sekedar sakit, tapi ada hikmah yang terambil setelah semuanya....:-)

Sunday, November 29, 2009

Yakinkan, Akulah Sang Juara...!


Hidup ini bukanlah suatu rekayasa manusia yang dengan mudahnya kita dapat menentukan hasil akhir atas apa yang telah kita awali dengan suatu keyakinan. Hidup pun bukanlah suatu kebetulan-kebetulan yang dengan mudahnya dapat diterka dan dikira-kira hasil akhirnya. Hidup adalah suatu proses pembelajaran yang panjang dan baru akan putus saat seorang manusia sudah tidak hidup lagi. Oleh karenanya, tidak ada jalan lain kecuali menghidupkan hidup dengan rangkaian prestasi dunia dan akhirat demi mencapai kualitas super seorang anak manusia.

Tidak perlu menyalahkan keterbatasan yang kita miliki sebagai penghalang langkah maju kita. Bukan berarti seorang yang tidak dibekali apapun tidak mampu meraih apapun bukan? Mengapa kita tidak belajar dari beragam kenyataan yang ada bahwa sesungguhnya keterbatasan yang kita miliki dapat menjadi pemompa motivasi untuk berubah? Bukan kemudian larut dalam ketidakberdayaan dan tunduk pada kenyataan yang seolah meyakinkan bahwa memang kita tidak mampu berbuat lebih dari apa yang seharusnya menjadi cita-cita kita.

Banyak makna tersembunyi dari kata belajar itu sendiri. Dari tidak mampu menjadi mampu ataupun dari tidak bisa menjadi bisa, semua termasuk dalam kategori belajar. Semua tentunya berawal dari keyakinan bahwa memang pada akhirnya kita mampu menaklukan segala keterbatasan kita. Bukankah saat terlahir ke dunia ini kita pun diliputi berbagai keterbatasan? Jangankan untuk berlari atau berjalan. Berbicara saja kita tidak bisa. Tapi ikhtiar dari kita dan orang-orang terdekat kita telah membuat kita belajar secara perlahan untuk menjadi pandai berbicara, berjalan, berlari, dan sebagainya. Lihatlah semua masa lalu kita. Untuk mengenal angka hingga menjadi seorang ahli hitung pun tidak terjadi dalam sekejap saja. Semua membutuhkan proses belajar yang tanpa henti.

Terjatuh berkali-kali adalah hal wajar dalam sebuah proses belajar berlari. Demikian juga halnya kita. Mungkin kita bisa mengenang masa kecil kita yang pantang menyerah ketika harus berkali-kali terjatuh dari sepeda kecil kita hanya untuk bisa mengitari komplek perumahan bersama teman-teman sebaya kita. Berkali pun kita menangis, tidak memberi efek jera yang signifikan. Semua karena motivasi kita untuk mampu dan bisa bersepeda melebihi dari rasa takut kita untuk jatuh dan terluka.

Teman, bukankah sekarang masing-masing dari kita sudah dewasa? Bukanlah saatnya untuk takut menghadapi kenyataan apa yang akan menyapa kita pada akhirnya nanti. Kita adalah manusia-manusia unggul dengan cita-cita besar. Ingat itu. Manakala kita harus jatuh, terluka, bahkan patah dalam perjalanan mencapai impian dan cita-cita itu adalah rangkaian proses yang harus kita jalani untuk mencapai kemenangan nanti. Karena seorang juara, tidak akan mudah memenangkan pertarungan. Dan akan banyak rintangan yang akan membuat senyum kemenangannya menjadi sangat manis pada saatnya nanti.

Saturday, November 28, 2009

Tersenyumlah Untuk Hidupmu.....


Belakangan ini banyak kujumpai keluhan-keluhan kesedihan dari beberapa sahabat di sekitarku. Beragam keluhan itu di antaranya berisi suatu ketidakterimaan (atau suatu ketidaksiapan) mereka dalam menghadapi takdirnya. Tak jarang pula ada airmata yang turut berbicara mengantarkan mereka pada suatu keadaan di mana seolah-olah mereka telah menjadi korban kekejian fakta yang mengharu biru di dalam benaknya....Hmmm....

Beginilah hidup. Pada satu titik kita merasa telah terdzolimi akan kebengisan takdir yang menyapa... Pada titik yang lain kita pun pasti pernah dimanjakan oleh kemuliaan takdir yang (seringnya) membuat kita lupa bersyukur. Sebetulnya apa yang ada di dunia ini sudah berjalan pada asas keseimbangan dan tidak berat sebelah. Hanya saja, seringkali kita yang tidak bisa menempatkan hati pada posisi siaga menerima apa yang telah ditetapkanNya. Tidak salah bila seorang manusia mempunyai ekspektasi yang tinggi dalam hidupnya. Namun, perlu dicatat juga bahwa takdirNya tidak selalu berjalan dalam koridor ekspektasi kita, karena bisa saja apa yang kita harapkan justru akan menghancurkan diri kita sendiri karena memang bukan itu yang sesungguhnya terbaik bagi kita.

Namun nyatanya, masih banyak orang dewasa yang belum bisa menerima ini. Masih banyak yang mencoba memaksa Tuhan agar menjadikan takdirnya seperti apa yang diharapkannya. Jika ia tidak berhasil memaksa Tuhan, maka ia pun akan marah dan beranggapan bahwa Tuhannya tidak lagi menyayanginya. Akhirnya manusia tadi pun kan merasa menjadi korban dari kekejaman takdir Tuhan. Dan ternyata mental-mental manusia seperti ini masih sangat banyak terdapat di dunia ini (mungkin juga termasuk Saya).

Semua manusia telah diajarkan berikhtiar untuk apa yang ingin diraih dan dicita-citakannya. Dan di dalam proses ikhtiar itulah Allah akan menguji kesungguhan kita untuk mendapatkan apa yang sesungguhnya menjadi tujuan kita. Para syaitan yang sudah terkutuk itu pun tidak pernah bosan menggoda manusia untuk keluar dari track ikhtiar yang seharusnya, yakni dengan menghalalkan segala cara yang sudah jelas tidak halal serupa dengan membenarkan suatu proses yang sudah jelas tidak benar. Dan keistiqomahan manusia pun diuji. Setelah itu, mash ada ujian keikhlasan dan kesabaran serta keteguhan yang harus diselesaikan dengan baik. Baru terakhir, manusia tadi akan merasakan manisnya buah dari keimanannya yang kokoh dan dijaga sedemikian rupa.

Semua memang suatu rangkaian proses panjang dan pembelajaran yang butuh waktu lama. Seiring dengan bertambahnya kedewasaan seseorang, maka kepasrahan dan keimananan kepada Tuhannya pun idealnya semakin meningkat. Meski kedewasaan ini pun bukanlah jaminan bagi seseorang untuk tidak pernah merasa patah dan kecewa. Karena perasaan semacam ini adalah manusiawi selagi kita masih memiliki hati dalam keseharian kita. Manakala apa yang telah digariskanNya tidak sesuai dengan ekspektasi kita, wajar jika kita kecewa, patah, ataupun sakit. Namun, sebagai orang yang mengaku beriman, sudah selayaknyalah kita memiliki suatu pola dan terapi sendiri untuk menyikapi perasaan-perasaan semacam itu jikalau tiba-tiba kita merasakannya.... Allahu'alam bishowab.

Sunday, November 8, 2009

M I M P I



Setiap manusia, siapapun itu dan bagaimanapun kondisinya, selama ia masih mempunyai alasan untuk hidup pastilah memiliki mimpi. Karena tanpa kita sadari, bahwa langkah yang telah kita torehkan pada masa sekarang ini pun adalah hasil dari mimpi kita di masa yang lalu. Mimpi itulah yang pada akhirnya kita menangkan untuk menjadi suatu keberhasilan yang berarti dalam kehidupan ini. Dengan proses pencapaian yang tak mudah, mimpi pun akan menjadi suatu tarbiyah tersendiri bagi kita, sang pemilik mimpi dalam penataan keoptimisan dan keyakinan akan setiap pilihan yang dihadapkan.

Tidak ada seorang (normal) pun yang bermimpi untuk gagal, tidak berguna, ataupun kalah. Mimpi itu harus besar dan tinggi, sehingga memaksa kita untuk mengeluarkan seluruh kekuatan dalam meraihnya. Manakala mimpi kita hanya berada pada standar 'sedang-sedang saja' (dengan alasan jika kita terlampau tinggi menggantung mimpi, maka saat terjatuh kita sakit), maka kita akan selamanya menjadi seorang yang punya pencapaian 'sedang-sedang saja' pula. Tidak baik menjadi seorang pengecut sebelum maju berperang bukan?

Hidup itu untuk diperjuangkan meski harus berkali-kali terjatuh. Hidup bukanlah suatu bonus gratis dengan semua kebahagiaannya. Hidup adalah hidup. Yang menuntut kita untuk bergerak dan bergerak terus  karena berhenti berarti mati. Salah satu dari parameter kehidupan adalah bergerak, termasuk bergerak menuju mimpi-mimpi yang telah kita miliki. Dapat dibayangkan jika mimpi yang kita miliki hanyalah sebatas 'sedang' maka usaha kita terbesar pun hanya berada pada level 'sedang'. Dan kualitas perjuangan kita pun akan terasa sangat 'sedang'. Dapat dibayangkan jika kualitas 'sedang' itu melekat sebagai predikat seumur hidup yang akan melekat dalam keseharian kita. Proses perbaikan dalam hidup pun seolah berjalan di tempat dan tidak membuahkan hasil.


Setiap manusia (termasuk Saya) sangat menginginkan perubahan-perubahan yang berarti dalam hidup yang bermula dari tangan kita sendiri. Di mana space untuk kebahagiaan adalah kewajiban kita untuk terus -menerus memperluasnya dari hari ke hari dengan prestasi yang kita miliki. Maka, mimpi adalah pemicu motivasi terbesar untuk menjadi besar. Mimpi juga sebagai sarana mempertangguh pribadi seseorang. Dengan mimpi seseorang dapat merasakan sakitnya kala terjatuh dan manisnya keberhasilan. Bukan justru keterjatuhan kita kala gagal meraih mimpi itu yang lantas menyurutkan kita dari mimpi yang lebih besar. Seharusnya, setelah kita dijatuhkan dengan kegagalan yang menimpa, kita menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Karena kegagalan yang diberikanNya bukan tanpa sebab, melainkan itu pasti membuat kita semakin tangguh dan tangguh lagi.

Mimpi pun dapat menentukan kualitas seseorang. Tanyakan saja pada orang-orang yang sudah menjadi besar pada masa sekarang ini tentang seperti apa mimpinya di masa lalu. Tidak ada keberhasilan yang diraih dengan suatu moment kebetulan semata. Seandainya ada kemudahan, itu mungkin karena Dia memudahkan usaha kita. Tapi tetap ada usaha atas perolehan keberhasilan tersebut. Kalau usaha saja tidak ada, bagaimana bisa dipermudah?

Mulailah bermimpi besar untuk menjadi seseorang yang besar dengan pencapaian yang besar pula, tak peduli berapa kalipun kau harus gagal dan terjatuh.....

Sunday, November 1, 2009

M A A F

Dapatkah kita menghitung tentang berapa banyak kata maaf yang telah kita ucapkan? Atau mungkin dapatkah kita memperkirakan jumlah kata maaf yang telah kita terima?
Maaf, kata yang seolah dapat menghapus semua kesalahan dan luka yang pernah terjadi serta terasakan sebelumnya. 
Dan maaf, kata yang amat mudah diucapkan oleh siapapun, termasuk para penjahat sekalipun....


Suatu waktu kita berbuat salah atau merugikan orang lain sekalipun biasanya kata yang pertama kali terlintas dalam benak kita adalah 'maaf'. Entah kata maaf itu meluncur dari hati ataupun tidak, yang jelas lisan manusia memang sudah terbiasa berujar itu untuk meloloskan kesalahannya dan membuat ridho pada obyek yang dikenai atas perbuatan salahnya tersebut. Kata maaf adalah kata yang begitu mulia dan untuk meminta maaf adalah pekerjaan yang mulia juga. Hanya saja, kadang kita terlalu mudahnya dalam meloloskan perbuatan salah kita sendiri karena prosedur meminta maaf yang begitu sederhananya.

Dalam kesederhanaan prosedur meminta maaf yang pada masa sekarang ini, sepertinya justru membuat kata maaf kehilangan kesaktiannya. Kata maaf tidak lagi dapat menghapus tuntas segala luka yang terjadi akibat apa yang telah terjadi sebelum itu, melainkan hanya sebagai pelengkap kesalahan saja. Selesai berbuat salah, lalu meminta maaf, tuntas sudah urusan. Padahal seharusnya ada yang lebih dari itu..... yakni solusi. Sudahkan kata maaf kita menjadi solusi dan memperbaiki segala kerusakan atas kesalahan yang telah kita lakukan? Kerusakan di sini dapat berarti kerusakan materi atau yang lainnya yang lebih sensitif. Hati misalnya, atau moril juga bisa. Dan itu belum tentu bisa selesai dengan kata maaf saja. Harus ada solusi konkret dan komitmen lain yang mengikuti setelahnya.

Pelafalan kata maaf yang terlampau sering pun akan dapat mengurangi esensi dan kesakralan makna maaf  itu sendiri. Untuk frekuensi yang sering, kata maaf dapat mendegradasikan makna yang melekat di dalamnya dan kemudian menjadi suatu kebiasaan yang tidak lagi istimewa. Sehingga, pada akhirnya akan muncul kesengajaan-kesengajaan dalam melakukan kesalahan karena setelah itu ada kata yang menghapusnya, maaf.

Memang tidak semua orang berlaku demikian. Hanya saja, rasanya terlalu murah sekali harga sebuah kesalahan jika hanya dibasuh kata maaf yang sudah menjadi kebiasaan belaka. Namun, manakala kata maaf itu terangkai dari dalam hati yang tulus disertai rasa penyesalan mendalam atas kesalahannya, kemudian setelah itu ada komitmen yang mengikutinya (entah untuk tidak mengulanginya lagi atau justru mencari solusi atas segala kesalahan yang telah dilakukannya), maka kata maaf itu barulah berharga dan patut untuk dilafalkan. Jadi, mungkin yang menjadi koreksi bagi diri kita masing-masing, apakah kata maaf yang biasa kita bagi-bagikan kepada sesama kita itu sudah memenuhi standar apologizing properly atau belum?

(tx sista....4 inspiring me 4 d'phrase apologizing properly. i've expert 2 do right now...)

Friday, October 30, 2009

P A T A H ..........



Manusia, dalam lingkup ketidaksempurnaannya memang memiliki banyak celah untuk mengeluh dan meratap. Kegagalan, kehilangan, ataupun kekalahan adalah potongan-potongan sketsa hidup manusia yang mau tidak mau pasti akan kita lalui juga. Mungkin kita sudah tidak mampu lagi menghitung berapa banyak keluhan dan ketidakterimaan yang telah kita hasilkan. Atau bahkan mungkin ada dari kita yang masih sangat ingin menjelma menjadi manusia lain dengan takdir lain yang lebih baik dari takdir kita sekarang.

Masa-masa kehidupan tidak selalu kita lalui dengan manis dan menyenangkan. Adakalanya kerapuhan menyesaki setiap relung hati, jiwa, dan pikiran kita sehingga membuat kita menjadi sangat sulit bergerak dan berekspresi selain pada sebuah rasa frustasi berkepanjangan. Menjadi korban atas kekejaman nasib yang selalu tidak bersahabat, menjadi korban pada setiap pertempuran, atau bahkan menjadi pecundang di segala kompetisi. Semua buruk jika kita hanya melihat pada sisi menang dan kalahnya saja. Padahal, dalam hidup tidak hanya ada menang dan kalah. Tidak hanya ada status pemenang dan pecundang pula. Karena status-status tersebut adalah status buatan manusia, maka ia tidak bisa dijadikan parameter dan tolak ukur hidup seseorang karena sifatnya terlalu duniawi belaka.

Salah satu penyebab luka ataupun rasa kecewa kita bisa jadi karena terlalu berharapnya kita pada manusia yang lain. Dalam konteks sosial, memang kita harus saling membutuhkan dan melengkapi. Namun, jika ketergantungan kita kepada manusia lebih besar daripada ketergantungan kita pada Allah Swt, maka hanya ada kekecewaan pulalah yang akan kita terima mengingat tak ada manusia manapun jua yang memegang kendali hidupnya sendiri. Semua ada dalam kendaliNya dan semua yang akan terjadi selanjutnya adalah skenario yang telah disiapkanNya untuk kita jalani.

Lantas, apa yang dapat kita katakan mengenai 'luka'? Adakah manusia di dunia ini yang tak pernah terluka? Kelukaan yang terjadi pada hati manusia adalah hal yang wajar terjadi. Luka itu adalah salah satu tarbiyahNya untuk membuat hati kita menjadi siap mendapatkan kekuatan yang lebih besar lagi. Manakala sekeping hati  manusia terluka, pastilah setelahnya ia akan memperkuat pertahanan hatinya untuk luka yang lebih besar lagi. Dan tanpa ia sadari, secara perlahan tapi pasti hatinya kembali menjadi lebih kuat dari sebelumnya setelah sembuh lukanya. Dan akan begitu seterusnya sampai pada akhirnya kita menjadi seorang superpower dalam urusan ini. Hati manusia tersebut pun menjadi lebih dewasa dan sulit untuk kembali terluka karena ridho dan ikhlas hatinya sudah mulai terbentuk secara alamiah.

Untuk menjadi manusia luar biasa memang menbutuhkan rangkaian proses yang sangat panjang. Harus jatuh dan patah berkali-kali untuk menjadikan diri kita sebagai manusia yang berkualitas. Secara kasat mata dapat terlihat perbedaan manusia yang hidup dengan luka di sana-sini akibat berkali-kali jatuh (atau) patah dengan  manusia yang sedikit, atau bahkan tidak pernah mengalami terluka sama sekali. Yang sudah sering terluka akan terlihat jauh lebih tegar dan kuat. Yang tidak pernah terluka......... mungkin akan telihat lebih rapuh dan lemah. Inilah sunatullahNya. Dia memang telah memilih orang-orang kuat yang mampu bangkit dari keterpurukan untuk kemudian dimuliakan dalam jannahNya.

Yakinlah, di luar semua itu ada satu cahaya yang sedang tersorot secara tajam mengarah ke kita. CahayaNya yang menyorot tajam kepada hamba yang tengah dirundung ujian yang belum juga berkesudahan. Cahaya yang sesungguhnya sedang menyinari sang hamba tadi agar tampaklah kemuliaannya yang timbul pada keistiqomahan menghadapi ujian hidup. Luar biasa! Layaknya seorang bintang panggung yang sedang disorot lampu secara close up maka sang hamba tadi pun demikian. Bintang atas keteguhan hatinya akan mebuat semua mata tertuju kepadanya. Karena imannya.. telah membuatnya sedemikian bersinar di hadapan para malaikat dan TuhanNya.... Allahu'alam bishowab.

Thursday, October 29, 2009

R e h a t

Satu kata, namun sangat berarti dan memegang peranan yang sangat vital dalam proses perjalanan hidup seorang anak manusia yang penuh liku. 
Satu kata, yang sangat berpengaruh pada pencapaian tujuan hidup seseorang. 
Dan satu kata, yang dapat membuat kita terjaga atau justru lalai dalam menyikapi kesempatan di dalamnya....Rehat.

Hidup ini, entah dengan model dan cara seperti apa yang empunya hidup dalam menyikapinya, adakalanya terasa begitu berat dan melelahkan. Dan pada titik tertentu akan muncul beberapa alasan yang membuat kita harus berhenti sejenak dari rutinitas dan segala kejenuhan aktivitas. Kemudian pada saat itulah 'rehat' masuk dan memberikan solusi terbaik bagi kita.

Saya pribadi tidak pernah membayangkan jikalau hari minggu dalam kalender kita tidak lagi berwarna merah, namun hitam dan selanjutnya berfungsi sama seperti senin, selasa, dan sebagainya. Mungkin semua aktivitas kita tidak lagi menjadi optimal. Kejenuhan dan kejumudan pun satu hal wajar yang tidak dapat dihindarkan. Dengan sistem lima atau enam hari kerja saja masih banyak yang menilainya belum optimal, apalagi tujuh hari kerja..... tidak terbayangkan!

Manusia bukanlah robot yang bisa secara terus-menerus bekerja, berfikir, dan merasa. Ada kalanya kita berada di titik jenuh dalam pekerjaan, titik stres dalam pikiran, atau bahkan ada di titik sensitif yang tinggi akibat kejenuhan perasaan kita sendiri. Semua itu butuh suatu proses pengembalian performa agar kembali normal. Dan itu ada pada proses berhenti sejenak tadi, atau yang biasa kita sebut dengan rehat. Berhenti sejenak untuk mengumpulkan kekuatan dalam bekerja, berhenti sejenak untuk menenangkan pikiran, dan berhenti sejenak untuk kembali memanajemen perasaan kita. Semuanya begitu penting bagi jiwa kita.

Rehat, nikmatnya berhenti dari segala sesuatu yang melelahkan dan menjemukan pun bisa jadi menjadi bumerang untuk diri kita sendiri. Terlalu lama berhenti di pemberhentian sementara bisa jadi akan membuat suatu bus padat penumpang ditinggalkan oleh para penumpangnya. Atau dengan kata lain, energi yang semula kita rencanakan akan terkumpul pada saat rehat akan menguap seiring lamanya waktu kita berhenti. Usaha syaitan untuk kemudian melenakan kita dari tujuan semula dan niatan awal bisa dimulai dari jalur rehat yang terlalu lama. Maka, penting bagi kita untuk kembali menschedulle kembali jadwal rehat kita di tengah kejumudan aktivitas dan pikiran kita.

Yang harus disadari dan dijaga, adalah bagaimana kita tetap mempunyai strategi rehat yang menyehatkan dan bukan memperparah kejenuhan kita. Tempatkan rehat dalam space yang tidak terlalu besar dalam ruang aktivitas kita. Dan semua akan baik-baik saja... Allahu'alam bishowab

Wednesday, October 28, 2009

Ternyata Mencintai itu Membutuhkan Energi yang Luar Biasa......

"Senja ini Aku mendapat satu pelajaran berharga dari seseorang yang biasa kupanggil 'kakak'. Bahwa ternyata mencintai itu membutuhkan energi yang luar biasa besarnya..........."


Mencintai, apapun konteksnya dan kepada siapapun rasa itu ditujukan, tetap memerlukan suatu kekuatan yang cukup besar. Kekuatan untuk kecewa, mengalah, disakiti, sampai pada titik terbesar adalah kekuatan untuk ikhlas dalam mencintai. Sisi manusiawi seorang manusia yang ingin cintanya bersambut dan berbalas pun tak lepas dari pamrih seseorang dalam mencintai. Memang hal yang wajar manakala pamrih tersebut disertai dengan kedewasaan dalam mencintai, jadi harapan untuk tidak bertepuk sebelah tangan pun tidak menjadi suatu ambisi yang dengan frontal diperjuangkan.

Saat kita telah berani mendeklarasikan diri bahwa kita mencintai seseorang, maka selayaknya kita pun sudah menyiapkan space hati untuk kemudian merasa kecewa. Karena idealnya orang mencintai, pastilah punya harapan terhadap objek lain di luar dirinya. Dan hidup tidak selalu berjalan di atas rel-rel harapan yang telah Kita bangun. Adakalanya meleset sedikit, adakalanya meleset agak jauh, bahkan keluar jalur juga memungkinkan. Semua jelas menguji kesiapan mental dan kedewasaan kita dalam mencintai. Dan pastinya, kekuatan kita pun diuji.

Selanjutnya, dalam mencintai pun kita wajib menyiapkan kekuatan lain untuk mengalah dan bersedia bersikap dewasa untuk setia memberi. Karena (menurut Saya, hakikat cinta itu adalah pelayanan, dan pelayanan terimplementasi dalam proses 'memberi'). Memberi apapun demi membuat yang dicinta bahagia. Fuih... sepintas kedengarannya sangat 'lebay' dan membebani. Tapi memang dalam kenyataannya seperti itu. Jangan dulu mengumbar kata 'cinta' jika memang belum siap masuk dalam proses memberi, apalagi melayani. Kemudian memberi di sini dapat diperluas menjadi memberi rasa aman dan nyaman. Berarti sudah masuk dalam tahap 'menjaga' orang yang dicinta. Cakupan menjaga pun dapat dibuat lebih detail lagi. Mulai dari menjaga perasaan sampai menjaga nama baiknya di depan orang lain. Tak rela orang yang dicinta terlukai dan tersakiti. Juga tak rela melihatnya dikatakan buruk oleh orang lain. Semua terangkum dalam kesediaan memberi. Memberi dedikasi dan loyalitas untuk yang dicinta. Dan semua itu butuh kekuatan yang tidak sedikit.

Terakhir dan yang menjadi inti dari mencintai, adalah keikhlasan dalam merasakan rasa cinta tersebut. Ikhlas untuk menerima apapun konsekuensi dari mencintai. Karena mencintai adalah sebuah keputusan, maka sepatutnya sudah ada komitmen keikhlasan di dalamnya. Dengan ikhlas, semua kekuatan dan energi yang harus dikeluarkan seseorang dalam mencintai akan terasa lebih bermanfaat. Bukan lagi menganggap mencintai itu sebagai sebuah beban yang menyiksa jiwa dan raga. Namun, ia bisa merasakan bahwa mencintai itu dapat menjadi suplemen bagi jiwa sehingga akan terus memotivasi dirinya sendiri untuk terus berubah menjadi manusia yang lebih berkualitas dalam mencintai manusia lainnya. Ya, karena cinta selalu butuh proses pembelajaran panjang yang tidak akan pernah berhenti. Dan setiap orang berhak untuk itu.
Allahu'alam bishowab.


Tuesday, October 27, 2009

DIBOHONGI.....???

Kalau ditanya perlakuan apa yang paling menyakitkan buatku, maka dengan lantang Aku akan menjawab: dibohongi. Entah mengapa Aku begitu sulit memaafkan orang yang telah bohong (apapun) alasannya kepadaku. Memang ini sungguh tidak rasional...


Setiap orang, siapapun itu pastilah mempunyai titik lemah dalam perasaannya yang untuk lebih mudahnya Kita sebut "poin sensitif". Poin sensitif setiap manusia, termasuk Saya dan juga Anda jelas berbeda. Ada yang tidak suka disindir, tidak suka dibentak, tidak suka dibohongi, dan sebagainya. Manakala ada manusia lain yang 'menyentuh' poin sensitivitas dalam diri Kita tersebut, maka akan ada respon ketidaksukaan, kekecewaan, bahkan sampe pembalasan dendam (yang ini mah kelewatan yaaa) sebagai bentuk perlawanan dan pertahanan diri dari diri Kita. Ini memang wajar mengingat manusia memang termasuk makhluk yang responsif.

Hanya saja, kecerdasan manusia dewasa ini seolah menurun dalam poin-poin sensitif itu. Emosinya lebih dominan menguasai akalnya sehingga ekspresi atas respon negatif akibat hatinya 'terusik' tadi menjadi luar biasa bodohnya. Mengapa dengan tegas Saya katakan bodoh? Karena sudah sekian lama hidup tetap terjebak pada lubang (poin sensitif) yang sama. Meskipun itu suatu kewajaran, namun jikalau dari hari ke hari masih mendapat rapor merah dalam penilaian atas penyikapannya, ya..... artinya Ia tidak bisa belajar dari masa lalunya.

Semisal, Saya katakan dalam prolog di atas bahwa Saya sangat marah pada orang yang telah berbuat bohong apapun alasannya. Dahulu, saat belum sematang ini (padahal sekarang juga belum matang sih...), Saya selalu marah besar dengan ekspresi yg sedikit 'mengerikan' (yang ini ga usah dideskripsikan ya..) jika telah dibohongi. Saya tidak marah manakala Saya disindir, dibentak, ataupun dimarahi dengan cara yang kasar sekalipun. Saya hanya marah ya.... kalau sudah dijanjikan atas sesuatu hal, trus yang menjanjikan uzur sehingga tidak bisa tepati janjinya. Itu ada jaminan Saya pasti akan marah. Namun seiring berkembangnya kedewasaan Saya (jiah... dewasa!), maka ekspresi 'mutung' Saya pun ikut-ikutan dewasa. Yang pada awalnya cukup 'mengerikan' dan sedikit frontal, maka ya.... sekarang marahnya agak kalem lah (tapi tetep mutung..hehe)

Kembali ke masalah poin sensitif tadi, sebetulnya apa yang menyebabkan seseorang sangat sensitif terhadap hal-hal tertentu? Menurut Saya, yang pertama jelas sifat seseorang. Kemudian kedewasaannya, terakhir back ground hidupnya. Kompleks! Namun segala kekompleks-an tadi bukan berarti tidak bisa disimple-kan (bahasanya tambah ngaco!). Kondisi saling memahami antara manusia satu dengan manusia yang lain sepertinya sudah cukup menjadi solusinya (what? masalah rumit begini solusinya 'cuma' saling memahami??!)

Ya... memang hanya itu solusinya. Solusi umum untuk segala hubungan interpersonal manusia adalah konteks saling memahami dan mengerti antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Itu sudah cukup untuk menciptakan kedamaian di muka bumi ini (itung2 bantu kerjaannya sailormoon ya....).

Smoga Allah Swt senantiasa menganugerahkan kepada Kita kebijaksanaan dan kdewasaan tak berujung pangkal sebagai media untuk membuka jalan Kita untuk menuju jannahNya...........

Saturday, October 24, 2009

Karna dirimu..... begitu berharga!


Pada awalnya Saya cukup heran dengan hasil personality test Saya yang mengatakan bahwa karakter seperti Saya di dunia ini hanya ada sekitar 3% dan hampir 3/4 manusia pemilik karakter seperti itu laki-laki. Personality test itu cukup valid dan diakui sehingga Saya pun dapat mempercayai hasilnya. Dan ketika Saya memahami analisa atas hasil personality test Saya pun menemukan banyak kesamaan antara analisa mereka dengan keseharian Saya. Jadi, ya.... memang seperti itulah personality Saya sesungguhnya.


Seperti apapun kepribadian seorang anak manusia tetap saja mengandung 2 unsur inti yang selalu ada didalamnya, yakni unsur lebih dan kurang. Kedua unsur inilah yang lantas membuat manusia menjadi lengkap dalam penciptaannya. Dan kedua faktor inilah pula yang secara konkret mencerminkan manusia sebagai makhluk sosial yang (idealnya) harus saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya.

Banyak orang yang merasa minder dan 'tak layak' hanya karna belum menemukan 'harga' yang pas untuk menakar dirinya sendiri di hadapan orang lain. Padahal, seperti telah Saya sampaikan sebelumnya bahwa ada unsur 'lebih' dan'kurang' yang bersinergi dalam pribadi kita. Sebagai orang dewasa, sudah sepatutnya kita bisa menempatkan takaran yang sesuai untuk 'lebih' dan 'kurang ' tersebut. Tidak terlalu menjunjung tinggi, namun tidak pula merendahkan martabat diri dengan menempatkan nilai yang terlalu rendah di hadapan orang lain.

Setiap dari kita berharga, minimal untuk diri kita sendiri. Seberapa besar cinta kita untuk diri sendiri berbanding lurus dengan perlakuan kita pada diri sendiri. Dan tanpa dapat dipungkiri lagi bahwa semua berkaitan dengan latar belakang hidup seeorang. Manusia yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang penuh cinta tentu akan memiliki penilaian berbeda terhadap dirinya jika dibandingkan dengan manusia yang dibesarkan tidak dalam lingkungan yang harmonis. Kecenderungan-kecenderungan semacam ini memang tidak dapat dinafikkan lagi. Namun, satu yang pasti... apapun yang telah terjadi di masa lalu kita (selama itu bukan kejahatan), sama sekali tidak akan mengurangi nilai diri kita sebagai manusia. Namun, acapkali ini yang sering dilupakan. Banyak orang menganggap nilai diri seseorang itu tidak berdiri sendiri, melainkan masih bergantung pada aspek-aspek eksternal lain yang melingkupi hidup seseorang, antara lain: keluarga, kekayaan, kedudukan, paras fisik, dan sebagainya. Sebetulnya itu tidak salah, namun ketiadaan aspek-aspek tersebut pun tidak dapat dikatakan akan mengurangi nilai diri seseorang. Setidaknya begitulah opini Saya.

Tak ada yang memaksa kita untuk berfikir negatif selain persepsi buruk kita sendiri terhadap sesuatu. Karna di dunia ini tak ada sesuatu yang benar-benar buruk kecuali pada hal-hal yang telah ditetapkanNya sebagai sesuatu yang buruk, selebihnya tidak ada. Semakin banyak kita menganggap hal-hal baik itu buruk, maka tanpa sadar kita sedang membangun tembok besar yang dapat membatasi kita dari kebaikan yang lebih banyak lagi.

Sekali lagi, Saya sampaikan bahwa kitalah yang paling memahami diri kita (nomor 2 setelah Allah Swt). Dan kitalah yang idealnya mampu memasang 'harga' untuk diri kita di hadapan orang lain. Tidak untuk menjadi yang rendah ataupun terlampau tinggi. Tapi untuk menjadi seorang manusia berkualitas yang mampu menghargai dirinya sendiri atas segala nilai 'lebih' dan 'kurang' yang melingkupi dirinya.

Wednesday, October 21, 2009

Antara Hati dan Logika...


 Akhir-akhir ini sepertinya hidupku agak tidak teratur dari biasanya. Ekspresiku menjadi sulit ditebak oleh orang-orang di sekitarku. Tiba-tiba meledak, sesaat kemudian sudah berubah lagi menjadi seorang penyayang yang super duper sensitif. Rasanya jiwa ini ingin protes sejadi-jadinya karna sudah tak mampu lagi mengikuti kehendak logikaku yang (kata orang) sangat matematis dan tidak berperasaan. Lelah juga jadi orang yang terlampau logis. Jadi inget beberapa testimonial di FSku (masi jaman yaaa...?) dari beberapa yang mengatakan bahwa Aku terlalu mengandalkan logika dalam keseharianku.

Sepuluh tahun terakhir ini, Aku selalu beranggapan bahwa bergaul dan berinteraksi dengan hati itu selalu menyakitkan (mungkin akibat trauma masa lalu). Ada saat-saat di mana kita menjadi pelaku dan lain waktu mungkin giliran kita menjadi obyek dari rasa sakit itu. Sebetulnya pemeoku (pribadi) itu tidak salah. Namun tidak bisa dibenarkan juga. Ada banyak hal mudah yang menjadi sulit karena mengkaitkan urusan hati di dalamnya. Pun demikian pada saat kita harus mengambil keputusan dalam suatu permasalahan misalnya. Jika Kita hanya bertumpu pada logika benar dan salah, maka peluang untuk menyakiti 'yang salah' pun menjadi terbuka lebar. Justifikasi dan proses penghakiman ala manusia mulai bermain di sini. Yang salah semakin merasa tertuduh, yang benar semakin merasa menang. Akhirnya proses sakit menyakiti dan dzolim mendzolimi pun menjadi aksi yang bisa dipertontonkan dengan bebas.

Lantas, di mana kita harus memposisikan hati dengan tepat agar tidak terlindas logika kita? Belum lagi jika masih ada ego yang siap untuk membuat kita menjadi semakin pongah dan tidak mau mengalah. Yang jelas, hati harus tetap ada pada tempatnya dan dalam porsi secukupnya. Karna ketika kita sudah berlebihan mengeluarkan stok sensitifitas dalam hati kita, maka kita pun harus menyiapkan cadangan mental untuk kemudian menjadi siap jika sewaktu-waktu tersakiti. Logika pun tidak perlu mendominasi aktivitas kita karna logika yang terlalu tajam seringkali mengabaikan perasaan orang lain. Masalah ego... setiap orang punya standar ego yang berbeda-beda tergantung kedewasaannya dalam bersikap dan merespon apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Allahu'alam bishowab.

Lagi-lagi mereka kembali menilaiku dengan penilaian yang hampir seragam: jutek, keras, dingin, dan sebagainya. Ternyata harus kembali pada proses kontemplasi besar-besaran dalam diri ini.....

Saturday, October 17, 2009

(Smoga) Masih Ada Hati untuk Al Aqsha....

Menangis hati-hati kami pun miris jiwa-jiwa kami mengikuti perkembangan Al Aqsha belakangan ini. Pengalihan issue yang sudah sedemikian hebatnya semakin membuat sebagian besar dari kami terpuruk dalam ketidaktahuan. Media yang ada justru semakin mengintimidasi otak-otak kami dengan menjauhkan kami dari fenomena yang ada. Ada pula semacam opini yang mengatakan bahwa umat Islam Indonesia harus 'dihindarkan' dari berita2 yang membuat mereka marah agar kasus terorisme tidak terulang. Luar biasa!!!

Apakah memang begitu karakter manusia masa kini? Tak akan merasa terancam selama bumi tempatnya berpijak masih dalam status aman dan sejahtera. Kadang sempat terfikir juga, mungkin jika Al Aqsha itu ada di Jakarta barulah Indonesia bergejolak hebat. Nasionalisme ini masih terbangun atas dasar geografis semata. Dan itulah yang masih menjadi landasan teori manusia mayoritas dalam bersikap. Padahal ancaman akan runtuhnya Al Aqsha bukan datang kali ini saja. Rencana Zionis terhadap Al Quds pun bukan hanya gertakan setahun dua tahun saja. Bahkan semua sudah terangkum dalam proyek zionisme hingga tahun 2020 mendatang. Kaum zionis sangat bernafsu menjadikan Al-Quds sebagai ibukota bagi Yahudi, tak terbagi dengan Arab, membangun haikal dan mengeluarkan warga Arab yang merupakan penduduk mayoritas Al-Quds saat ini.


Mungkin Indonesia memang sedang terluka dengan tangisan menyayat dari duka SumBar yang entah sampai kapan itu kan berakhir. Indonesia pun masih menyisakan kegeraman mendalam utk para pelaku 'teroris' yang telah mengganggu kenyamanan hidup mereka, apalagi sampai mengambil korban anggota keluarga mereka. Indonesia kini pun tengah menanti keputusan politis dari Sang Presidennya atas nasib negeri ini lima tahun ke depan. Ada lagi ilustrasi Rasulullah saw yang (kembali) menyita perhatian dan kejengkelan kita. Atas semua itu memang sepertinya issue Al Aqsha dan Palestina sangat mudah dinafikkan dari fikiran dan luput dari perhatian kita.

Namun, sudah sepatutnya kita masih menyisakan ruang khusus di jiwa kita untuk Palestina, dan
Semoga kita masih bisa menyisakan space di hati kita untuk Al Aqsha tercinta...


Sunday, October 11, 2009

Belajar Mencintai dengan Rasa Cinta.....


Mungkin kita sudah tidak ingat lagi telah berapa kali kita mengucapkan kata 'cinta' pada lawan bicara kita, dalam hal ini bisa kepada kedua orang tua, adik, kakak, istri atau suami kita, bahkan kepada saudara-saudara seiman kita. Pun ketika kita mencoba menghitung kembali telah berapa kali kita diberi ucapan cinta mungkin kita tidak kan mampu menyebutkan jumlah yang tepat atau bahkan mendekati tepat pun tidak.Jika dari usia anak-anak kita sudah dididik dan dibesarkan dengan kata cinta, tentunya kita tidak mampu telah berapa ratus kali kata itu melintas dalam saluran pendengaran dan pengucapan kita. Lain halnya ketika kita dibesarkan dalam keluarga yang minim dari cinta, pastilah kata itu menjadi sangat sulit dilisankan karna memang tidak terbiasa (yang ini sudah terbukti lho..). Namun apalah itu, buat Saya cinta adalah perkara yang (mungkin sulit) namun masih dapat dipelajari meski butuh waktu cukup lama.

Mencintai bagi sebagian orang bukanlah hal yang sulit. Sayangnya, menghilangkan perasaan cinta yang tak lama kemudian berujung pada kebencian pun juga menjadi hal yang mudah pada masa sekarang ini. Kalau menurut Saya ada proses mencintai dan dicintai yang salah di sini. Cinta yang seharusnya itu menjadi sesuatu yang indah sekarang menjadi alasan yang sah dan legal dalam menghilangkan nyawa seseorang. Bukankah itu sungguh kontradiktif? Banyak orang bisa tenggelam dalam euforia mencintai dan dicintai, namun hanya sedikit orang yang bisa larut dalam rasa cinta yang sesungguhnya. Ironis.

Rasa cinta itu fitrah..
Rasa cinta murni dari Tuhan kita..
dan kemurnian itu hanya bisa dijaga dengan proses penjagaan yang benar dan Ia ridho terhadapnya
Manakala cinta telah dianggap menjadi sesuatu yang tidak murni lagi dengan penyusupan hawa nafsu dan ego pribadi maka cinta akan kehilangan makna yang sesungguhnya.
Maka, sudah sepatutnya bagi diri dan jiwa kita untuk merefleksi rasa cinta yang telah kita terima dan beri kepada sesama kita selama ini. Apakah Tuhan kita ridho dengan cara kita mencintai dan dicintai? Allahu'alam...
Pertanyaan retoris yang hanya mampu dijawab jujur jika kita belum mematikan hati dan telinga kita dari kebenaran. Dan pada akhirnya proses ini memang membutuhkan pembelajaran yang panjang hingga kita benar-benar dapat mencintai dengan sebenar-benarnya rasa cinta, bukan nafsu ataupun karna kebiasaan semata..

G A G A L.....


Judul besar di atas bukanlah suatu kata tepat untuk menggambarkan kondisi manusia masa sekarang. Siapa sih yang bersedia untuk gagal di era serba berhasil seperti sekarang? Ada? Mungkin jika memang ada, dia pun sedang bersiap mengasah pisau cutternya untuk mengiris nadinya di waktu selanjutnya.


Untuk menghindari gagal ada banyak cara yang bisa ditempuh. Positif atau negatif caranya, keduanya tetap membutuhkan effort dalam proses pencapaiannya. Jadi memang semua harus ada proses untuk menghindari kegagalan. Mulai dari belajar semalam suntuk atau justru malah melobi pejabat yang dikenal untuk kemudian bisa masuk dan bekerja di suatu instansi. Atau sistem kebut semalam mempersiapkan kepe'an (baca: contekan) demi ujian akhir pada beberapa mata kuliah rumit yang sama sekali tidak bisa difahami.. semua butuh proses dan proses sendiri membutuhkan kesediaan pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, dan sebagainya. Karena memang untuk tidak menemui kegagalan, kita harus rela mengorbankan apa yang dapat kita korbankan. Paling tidak itu demi diri kita sendiri.

Tidak ada satupun manusia yang terlahir ke bumi menginginkan suatu kegagalan terjadi dalam hidupnya. Namun seringkali tanpa kita sadari justru kita telah mendesain hidup kita untuk gagal dan gagal lagi. Tak ada sesuatu yang mustahil kita raih, melainkan kita tidak mau meraihnya. Ingatlah saudaraku, Allahu ma'ana.. Allahu ma'antum.. dan ada doa yang menjadi media komunikasi unggulan kita denganNya. Namun seringkali kita (termasuk Saya) mendiskreditkan kehadiranNya dengan melisankan ucapan2 putus asa yang dapat melemahkan iman kita dengan kata 'tidak bisa' atau 'percuma'. Dan akhirnya persepsi kita dengan prematur kegagalan seperti itu yang akan menjadikan kita putus asa.

Kegagalan, apapun alasannya tetaplah merupakan suatu hal yang amat menyakitkan. Betapa tidak, kita dihadapkan pada suatu kenyataan yang sama sekali jauh dari apa yang kita inginkan dan cita-citakan. Sementara, di sekitar kita ada orang lain yang mampu lebih bersinar setelah mencapai apa yang mereka cita-citakan. Kegagalan dalam akademik, prestasi kerja, pernikahan, ataupun kegagalan dalam pencapaian hal-hal lain dalam hidup ini adalah momok terbesar bagi sebagian besar orang. Karena mereka menjadikan ini momok, maka seringnya jadi menghalalkan segala cara untuk berhasil mencapai tujuan dan menghindari kegagalan. Lantas bagaimanakah dengan kita?

Setiap orang idealnya pernah mengalami kegagalan pun seperti halnya Saya. Kegagalan pada awalnya mungkin membuat kita jatuh dan pada beberapa kasus dapat mengakibatkan cacat yang berkepanjangan. Penyikapan yang direspon oleh masing-masing dari kita pun berbeda-beda tergantung pada kadar kesiapan mental kita dalam memproyeksi kemungkinan terburuk dari apa yang kita rencanakan. Ada yang standar-standar saja hanya berujar "yah...." dengan nada kecewa sampai aksi nekat bunuh diri yang di waktu selanjutnya ramai menjadi topik pada headline beberapa surat kabar lokal. Selain itu penyikapan kita terhadap kegagalan yang menimpa, utamanya bergantung pada seberapa besar keyakinan kita pada ketetapanNya. Bukankah kita semua tahu bahwa apa yang seharusnya Allah gariskan menjadi bagian kita dalam kenyataannya pasti akan menjadi bagian kita juga dan sebaliknya?


Persiapan dalam hidup memang harus matang. Doa pun harus kerap dipanjatkan. Syukur jangan hilang ditelan kenikmatan. Semua saling bersinergi untuk menjadikan kita sebagai manusia kuat yang tak mudah goyah ditebas badai apapun itu. Seberapa besar masalah yang kita hadapi pada intinya adalah untuk mengembalikan diri kita pada fitrah kita sebagai hambaNya yang dho'if. Seberapa rumitnya persoalan hidup yang kita temui adalah rangkaian puzzleNya dalam meningkatkan derajat taqwa kita. Karna Ia selalu memberi apa yang kita butuhkan... dan hanya Ia yang selalu ada dalam segala takdir yang sedang ramah menyapa hidup kita, susah maupun senang. pahit ataupun manis. Karna Ia memang ingin mengajarkan kepada manusia tentang arti sebuah keberhasilan yang (bisa jadi) bermula dari sebuah kata menyakitkan : GAGAL
Allahu'alam bishowab.

Thursday, October 8, 2009

dan Menikahlah...



"Barang siapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi."
(HR. Thabrani dan Hakim)


Siapapun tahu hadits di atas, bahkan mungkin sudah hafal di luar kepala. Oleh karenanya, Saya menggunakan hadits tersebut untuk membuka tulisan ini dengan topik yang mungkin sudah sangat familiar dengan keseharian kita, menikah.

Sebelumnya, di sini Saya sama sekali tidak bermaksud menggurui siapapun. Saya hanya ingin memotivasi antum/ antunna sekalian dan (tentunya) juga Saya pribadi untuk tidak menunda-nunda dalam urusan menikah. Karena terbukti, menundanya jika memang sudah ada kesiapan untuk mengarah ke sana akan menyebabkan dosa-dosa dan fitnah yang luar biasa. Setidaknya itu beberapa fenomena yang Saya temui.

Saya pun menulis ini mungkin juga karna tiba-tiba mendapat inspirasi tambahan dari orang-orang terdekat Saya (teman) yang akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat. Mudah-mudahan tulisan ini bisa mengena.. meski sedikit.

Sebetulnya teman-teman selain yang akan melangsungkan pernikahan itu pun (menurut Saya pribadi) banyak yang juga sudah siap untuk menikah. Hanya saja mungkin memang belum siap (katanya sih gitu) saja untuk melampaui proses sakral itu. Mengikat janji dalam mitsaqon gholidzha... berat juga memang kalo dipikir. Di mana 'orang asing' yang baru kita kenal akan masuk ke dalam hidup kita melalui sebuah proses yang relatif singkat. Memang kalau dipikir terus, semakin mengerikan. Apalagi kisah KDRT yang juga tidak sedikit. Perselingkuhan pun menjadi suatu hal wajar di masa sekarang. Bisa jadi itu bisa menjadi trauma tersendiri bagi sejumlah orang.

Beberapa kali Saya mengikuti bahkan menyaksikan kisah perselingkuhan yang (entah mengapa) selalu Saya saksikan sendiri cukup membuat Saya miris. Mulai dari cerita seorang teman dekat yang (ternyata) istri simpanan dari seorang pengusaha yang telah menikahinya secara sirri beberapa tahun lalu hingga perceraian seorang kenalan yang juga berpangkal pada proses perselingkuhan yang sungguh sangat dramatis.. (what? dramatis??) sehingga cukup membuatku merasa 'ngeri' untuk memulai menulis dengan topik ini.

Mungkin hal inilah yang membuat seorang temanku enggan untuk menyegerakan menikah. Traumatis dari kisah-kisah orang terdekat yang mengalami kegagalan dalam kehidupan pernikahannya. Padahal dilihat dari sisi usia beliau.... ya cukup matanglah untuk menikah. Namun, ketakutannya yang begitu besar akan kegagalan pernikahan justru sudah menjustifikasi keputusannya untuk tetap berada di dalam keragu-raguan daripada memilih untuk menyegerakan menikah. Saya pun sampai kehabisan kata-kata untuk meyakinkan bahwa takdir manusia itu tidak selalu sama. Dan tentunya ujian seseorang pun berbeda-beda. Betapapun sakitnya perceraian itu dialami oleh sepasang suami istri melainkan mereka sanggup untuk menerimanya. Tidak hanya mereka tentunya, tapi juga anak-anak korban perceraian itu yang pasti mau tidak mau harus kuat menerima justifikasi hidup selanjutnya, pasca perceraian kedua orang tuanya.

Semasa awal kuliah dulu, beberapa teman sudah menawarkan referensi buku-buku apa saja yang harus Saya baca. Dan kesemuanya tentang pernikahan. Awalnya saya 'dicekoki' novel-novel yang cukup membuat imajinasi Saya terbayang-bayang pada sesosok istri sholihah dengan kriteria-kriteria sesuai Si Tokoh utama dalam novel tersebut. Selanjutnya Saya pun mulai dihadiahi buku-buku (yang sekarang entah kemana) dengan tema yang lebih berat. Jadi kalau Saya pikirkan kembali, ternyata memang ada silabusnya dalam mengajarkan seseorang ilmu ini. Memang harus demikian. Karna ketika kita membicarakan topik yang cukup sensitif ini dengan orang yang memang belum siap, hanya akan membuat hati kotor dan imajinasi termanjakan. Gawat jadinya..

So, memang sesuatu yang baik dan mulia (dalam hal ini pernikahan) harus diawali dengan niat dan tujuan yang baik. Caranya pun harus baik. Baiknya menurut baiknya Allah Swt, bukan baiknya manusia. Setelah semua proses dilalui dengan baik, maka selanjutnya.. kembali padaNya. Menikah itu mudah bukan?
Maka... apa lagi yang kau tunggu Saudaraku?
Menikahlah.. dan Menikahlah ^^v

(esp 4 someone, Aku sangat menantikan undangan darimu mba!)

Sunday, October 4, 2009

Mengapa Hanya Sebatas Ini..?

Mengapa hanya sebatas ini?
Kau tetap khusyuk dalam aktivitas panjang untuk dirimu sendiri..
Tak melihatkah kau bahwa Saudaramu sedang menjerit pilu pada ujiannya?
Tak tersentuhkah hatimu melihat wajah pucat pasi mereka?
Menahan tangis kepedihan bersiap diri terima berita duka dari sanak keluarganya

Saudaraku,
Allah memperlakukan mereka dalam derita bukan hanya ingin memuliakan mereka saja
Dia pun ingin memuliakan hambaNya yang lain dengan amalan-amalan atas tangis saudaranya
Seberapa tersentuhnya kita akan penderitaan mereka jelas tidak sama
Karena sensitivitas kita terhadap ayat-ayat peringatanNya pun berbeda

Yang mengherankan adalah...
Ketika manusia-manusia masih istiqomah dengan aktivitas awal bulan mereka
Menghabiskan waktu sepanjang pagi siang malamnya untuk dunia semata
Memberi jatah penghasilan bulanan pada departement store sejumlah nominal yg terlalu besar untuk diinfaqkan
Padahal peringatan ini begitu tegas dan fenomena ini begitu menyedihkan
Ternyata bencana berkali-kali pun belum sempurna masuk ke dalam hati-hati kita
Sehingga belum berfungsi sebagai alarm pengingat mati yang optimal...

Ratusan ribu bahkan jutaan rupiah dihabiskan dengan ekspresi puas telah mendapatkan apa yang selama ini diinginkannya
Ironisnya, jumlah itu sangat berbeda jauh nilainya dengan nominal yang diberikan untuk membantu hidup saudaranya yang juga korban bencana itu
Bisa sepuluh kali lipat bisa dua puluh kali lipat
Rabbana!

Padahal caraNya ini sudah sangat menghasilkan banyak airmata kepedihan
Kepedihan yang sangat menggores dalam pada batin sejumlah anak Adam
Semoga tak perlu ada cara yang lebih menyakitkan dari ini
Hanya untuk mengingatkan manusia-manusia yang sulit sadar..
Allahu'alam bishowab.

Rabbi, jika boleh hamba memohon
Hamba kan merajuk agar Kau menegarkan mereka dalam tiap tetes airmata mereka
Penuhilah jiwa mereka dengan kekuatan untuk senantiasa husnudzon billah dalam kesempitan mereka
Berkahilah tiap tangis kehilangan mereka dengan pancaran kemuliaanMu
dan atas kesabaran mereka, tempatkanlah mereka dalam ruang istimewaMu

Saturday, October 3, 2009

Ketika Senyum...

Ketika Senyum ini dapat menyembunyikan segalanya
Di antara ruang bahagia yang semakin lama semakin sempit
Maka keindahan itu semakin lama kan enggan memunculkan diri ke permukaan
Dalam raut pucat pasi setia menunggu ajal menghampiri

Ketika Senyum ini dapat menjadi penawar kegetiran
Meski hancur tercabik tangan-tangan pembunuh berdarah dingin
Maka semua akan terlihat baik-baik saja
dan samar pada kepedihannya

Akankah senyum hanya bernilai semurah itu?
Paling tidak untuk kali ini ya..
Saat bersahabat dengan keletihan dalam tidur panjang ini.. IRONIS!

Sunday, September 27, 2009

Apakah Ada Bedanya... (Pinjam Judulnya Kang Ebiet G Ade)


Apakah ada bedanya hanya diam menunggu
dengan memburu bayang-bayang?
Sama-sama kosong
Kucoba tuang ke dalam kanvas
dengan garis dan warna-warni yang aku rindui

Apakah ada bedanya bila mata terpejam?
Fikiran jauh mengembara, menembus batas langit
Cintamu telah membakar jiwaku
Harum aroma tubuhmu menyumbat kepala dan fikiranku

Di bumi yang berputar pasti ada gejolak
Ikuti saja iramanya, isi dengan rasa
Di menara langit halilintar bersabung
Aku merasa tak terlindung, terbakar kegetiran
Cinta yang kuberi sepenuh hatiku
Entah yang kuterima aku tak peduli,
aku tak peduli, aku tak peduli

Apakah ada bedanya ketika kita bertemu
dengan saat kita berpisah? Sama-sama nikmat
Tinggal bagaimana kita menghayati
di belahan jiwa yang mana kita sembunyikan
dada yang terluka, duka yang tersayat, rasa yang terluka



Ada yang bisa menafsirkan lirik lagu di atas?
Lagu gubahan salah satu penyanyi sekaligus komposer favorit Saya itu selalu menyerahkan sendiri kepada penikmat musiknya untuk menafsirkannya. Yang punya kekasih menafsirkan lagu itu kepada orang terkasihnya. Yang tidak, mungkin untuk keluarganya. Atau... ya setidaknya ada unsur kebebasan dalam menafsirkannya. Bolehlah...

Seseorang (yang masih family dekat) pernah share terkait kisah kasihnya di masa lalu. Singkat cerita, laki-laki yang menikahinya sekarang bukanlah laki-laki yang dicintainya, meskipun laki-laki itu mencintainya. Satu-satunya alasan dia menikah adalah orang tuanya yang sudah sangat mendesaknya untuk menikah. Dan petuah lama.."lebih baik dicintai org yang tidak kita cintai daripada mencintai org yang tidak mencintai kita.."

Mungkin memang petuah lama itu tidak sepenuhnya salah. Tapi Saya pun tidak bisa menganggap itu benar seratus persen. Tapi lihat saja efek psikologis pada wanitanya. Memang sampai saat ini keluarga mereka (sampai dikaruniai sepasang putra putri yang manis2) masih baik2 saja. Hanya saja, terakhir sempat tercetus dari mulutnya bahwa dalam 13 tahun usia pernikahannya pun ia masih belum bisa mencintai suaminya seperti ia mencintai seseorang dalam masa lalunya. Namun suaminya memang tidak pernah menyadari itu karna sebagai istri ia tetap saja berbakti dan berusaha menjalankan peran dengan sangat baik bagi suami dan anak2nya. Luar biasa..

Beberapa tahun lalu ia memang sempat mendengar kabar mantan kekasihnya itu telah menikah dan memiliki seorang putra. Namun, belakangan terdengar pula bahwa laki-laki itu kini telah bercerai dengan istrinya. Sungguh, kabar perceraian itu sempat menjadi kebahagiaan yang menyeruak di dalam hatinya. Kabar-kabar seputar statusnya yang baru pun menjadi berita yang selalu dikejarnya. Sampai pada suatu ketika Suaminya mendapati masalah serius di instansi tempatnya bekerja. Sebagai pejabat lokal, beliau telah menjadi korban kejahatan politik dari lawan-lawan politiknya. Dan peristiwa demi peristiwa yang terjadi telah menuntutnya untuk mendampingi suaminya secara lebih all out lagi. Dan pada saat itu Allah telah melalaikannya untuk mengingat-ingat perceraian mantan kekasihnya itu. Pada saat yang hampir bersamaan, putra pertamanya tiba-tiba menderita sakit 'aneh' yang lumayan menyita perhatian. Suhu badannya sangat tinggi dan sering mengigau 'kakak mau mati ma... kakak bentar lagi mati ma..". Akhirnya belakangan diketahui bahwa penyakit si sulung akibat 'buatan' dukun sewaan salah satu lawan politik suaminya tersebut. Kompleks!

Pada awalnya ia sempat berfikir dan mencerna maksud Allah 'mengajaknya bermain' dengan semua kejadian yang menimpanya. Namun, perlahan disadari mungkin hanya dengan cara itulah Allah dapat membuatnya melupakan mantan kekasih yang belakangan justru menjadi fokus pencariannya. Untung saja tak butuh waktu lama untuk menyadarinya...

Dalam hati kecilnya kini ia sangat berharap Allah tidak kan mempertemukan ia dengan laki-laki dalam masa lalunya itu karna pada akhirnya ia pun menyadari bahwa apa yang ada di hadapannya saat ini adalah realita hidup yang Allah gariskan padanya. Dan tentu saja itu yang terbaik. Dan ada saat yang slalu ia nantikan sampai kapanpun.. yakni saat ia bisa benar-benar jatuh cinta pada suaminya.. Dan semoga Allah menyegerakan itu

Kembali lagi pada lirik lagu di atas (yang merupakan lagu kesukaannya juga)..
Kadang kita terlalu banyak menuntut apa yang menjadi kemauan kita. Kita terlalu banyak meminta apa yang menurut kita itu paling bisa membuat kita bahagia. Namun, seringkali 'jatah' yang kita terima dariNya jauh dari tuntutan dan harapan kita
Lantas..
Apakah ada bedanya jika kita masih tidak terima dengan apa yang telah ditetapkannya?
Tidak bukan? Yang ada, malah mungkin ketidakterimaan kita yang akan terus menghantui kita dengan perasaan-perasaan sakit dan pedih. So, ikhlas itu kuncinya...

Di bumi yang berputar pasti ada gejolak
Ikuti saja iramanya, isi dengan rasa
Di menara langit halilintar bersabung
Aku merasa tak terlindung, terbakar kegetiran
Cinta yang kuberi sepenuh hatiku
Entah yang kuterima aku tak peduli,
aku tak peduli, aku tak peduli



(Mungkin aku memang tdk sekuat njenengan mba... Dalam jarak ribuan mil, InsyaALLAH do'aku ada untukmu)

Thursday, September 24, 2009

Ternyata Hanya Sebatas Justifikasi Kultural...

Ikhwah, mari kita sejenak berfikir telah berapa kali kita menjustifikasi ke-qowiy-an dan ke-haroky-an saudara-saudara sekitar kita dg parameter-parameter dangkal yang hanya punya satu sudut pandang yang sempit? Saya menulis ini sambil mengingat-ingat berapa banyak nama yang telah Saya perlakukan seperti itu dahulu. Mungkin memang pada awalnya kita melakukan pembahasan akan nama2 ikhwah dalam hadonah kita demi penyusunan renstra dakwah juga ke depannya. Tapi makin lama makin dipikir.. kok ya kebangetan banget kalo kita membahas itu terlampau jauh dan sampai kemana-mana. Toh, tidak ada yang menjamin bahwa kita benar2 lebih baik dari bahasan-bahasan kita tersebut. Hanya saja, amanah kita saja yang mungkin cukup membuat kita 'bergigi' di antara ikhwah-ikhwah lain tersebut.

Pernah ada seorang kenalan Saya (partner dalam amanah khos) di suatu wilayah (masih di tembalang juga) menjustifikasi salah seorang adik kelas kuliah yang tinggal di wismanya tidak qowiy karena masih sering mendengarkan musik-musik selain nasyid. Ada juga seorang senior yang mendapat justifikasi tidak qowiy karena masih sering baca komik atau kebanyakan nonton tv. Dan mengapa hal-hal demikian dapat menjadi parameter penentu keqowiyan seseorang, jelas itu adalah suatu hal yang mengkultur dan membudaya dalam kehidupan keseharian ikhwan-akhwat di lingkungan kampus.

Ada lagi dalam interaksi ikhwan akhwat misalnya, ada akhwat 'pemula'(belum lama liqo') yang sempat deg-degan dipanggil MRnya karena ketahuan mudik bareng seorang ikhwan 'pemula' juga karena belum berani mudik sendirian. Si akhwat pemula tadi sampai menangis dan dibuat merasa bersalah tiada henti-hentinya. Hebat!
Ada lagi yang sampai 'cuti' dari halaqoh sampai satu bulan lamanya karena sindiran keras dari Sang MR akibat kemalaman pulang ke wisma (kos binaan) melebihi batas jam malam (pada saat itu jam 20.30 WIB). Atau saat kepergok sms-an dengan seorang ikhwan lewat dari jam 21.00 WIB. Pokoknya luar biasa!

Asholah ditegakkan tanpa toleransi yang berlebihan. Mungkin ini pula yang membuat kader kampus selalu lebih berkualitas dari kader kantor atau kader kampung/ kota (meski mereka pun mungkin pernah menjadi kader kampus). Permasalahannya sekarang, bisakah kita menjustifikasi bahwa orang yang mempunyai toleransi berlebihan itu kader yang tidak qowiy???

Sepertinya tidak arif jika kita langsung beranggapan demikian. Setiap kader layaknya manusia biasa yang memiliki background berbeda. Seorang pecandu komik perlu waktu sampai belasan tahun untuk kemudian mencandunya dan menjadikannya sebuah kebiasaan. Demikian juga penikmat musik-musik selain nasyid. Bukan waktu yang singkat bagi seseorang untuk dapat menjadi penggemar seorang Steven Tyler atau mendapatkan inspirasi dari seorang John Mayer. Lantas, mengapa kita tak bisa bijak membiarkan kader-kader tersebut berproses dengan caranya sendiri yang mungkin lebih membuatnya nyaman daripada dengan sindiran-sindiran yang tajam?

Mungkin naluri manusia kita sangat ingin mengakselerasi pertumbuhan kader dengan cara-cara klasik seperti itu. Tapi ingat wahai ikhwah.. yang kita hadapi adalah manusia. Bukan wayang ataupun robot. Manusia punya hawa nafsu yang tidak selalu bisa dikendalikan. Manusia juga punya hasrat. Dan yang pasti manusia butuh eksistensi di hadapan manusia lainnya. Jika kita langsung mengebiri apa yang telah menjadi kesenangannya setelah sekian lama dengan cara yang sama sekali tidak elegan, bukankah itu akan merusak perasaan dan harmonisasi hidupnya dengan mendadak meskipun alasan kita demi tegaknya asholah dakwah?

Sekali lagi, ini hanya masalah kultur. Dan untuk membentuk kultur itu perlu waktu lama. Saya tidak mengatakan komik, televisi, ataupun musik-musik selain nasyid itu baik. Hanya saja, seseorang yang tidak suka komik, tidak suka nonton televisi, dan tidak suka musik-musik selain nasyid, yang masih menjustifikasi saudaranya sesama ikhwah itu buruk dengan semua kebiasaannya pun tidak bisa dikatakan baik. Karena seandainya ia tidak bermasalah pada poin-poin lemah itu pun, pastilah ia telah bermasalah pada kedewasaan hatinya yang sukar menghargai proses pencapaian hidayah yang sedang dilalui saudaranya. Allahu'alam bishowab.

Tuesday, September 15, 2009

Karena cintaNya tak pernah salah...

Lima tahun lalu, ketika Aku belum sedewasa ini..
Aku mendapat ujian yang cukup berat, Aku selalu merasa menjadi makhluk paling nelangsa di muka bumi ini. Dan Aku pun selalu merasa menjadi korban kekejaman orang-orang di sekitarku. Bagaimana tidak, Aku selalu merasakan kepalaku sakit akibat depresi yang seolah lekat dengan keseharianku. Kekhawatiran akan hidupku esok dan selanjutnya menjadi beban yang kurasa sangat berat sehingga Aku pun merasa kepayahan memikirkannya. Hidupku menjadi suram dan wajahku pun pucat pasi dibuatnya.

Cukup sulit memang ketika ujian itu datang dan kita harus berhusnudzon billah di saat terjepit oleh keadaan. Yang ada kita terus mempermasalahkan takdir yang seharusnya tinggal kita nikmati dan terima saja. Karena memang itu standar baku Allah dalam memporsikan kita dalam cintaNya. Namun, sepertinya pada saat itu hatiku sudah tertutup payung duka yang mendalam hingga sulit menerima cintaNya dengan cara yang (menurutku) saat itu sungguh menyakitkan. Menjadi manusia super melankolis dengan perasaan sebagai objek penderita pun tak bisa dihindarkan.

Allah memang punya cara yang terlalu sempurna dalam mencintai hambaNya. Ia mendewasakanku dalam proses panjang tiada henti hanya untuk pencapaian kata 'tegar' dalam hidupku. Ia pun mentarbiyahku dengan rasa sakit yang luar biasa hanya untuk mengajariku sebuah kata sederhana yang sampai kini mungkin masih sulit kupahami, 'ikhlas'. Ia meletakanku dalam kesendirian yang panjang demi sebuah kemandirian. Dan pada akhirnya Ia memilihku untuk terjebak dalam persimpangan yang membingungkan untuk memahamkanku arti penting petunjukNya.

Jujur, untuk memahami cinta ini Aku butuh waktu yang sangat lama. Aku terlalu larut dalam perasaanku yang akhirnya membuatku kesulitan bersyukur. Bahkan, terkadang hingga kini, Aku masih bingung dalam memahami bahasa-bahasa cintaNya. Namun yang pasti, pada saat ini Aku sudah cukup merasakan betapa besar cintaNya yang sampai pada kehidupanku dan telah mengubah semuanya.

Karena cintaNyalah yang menjadikanku kuat dan optimis
Karena cintaNyalah Aku dapat turut serta dalam barisan dakwah ini
Karena cintaNyalah Aku yakin bahwa setiap orang berhak untuk bahagia
dan Karena cintaNyalah Aku tidak lagi merasa kurang

Karena cintaNya... memang tak pernah salah.


(Ditulis saat Aku merasa benar-benar mencintaiNya, 26 Ramadhan 1430 H)

Monday, September 14, 2009

untitled


Sahabat,
Sadarkah pada saat ini ada yang lain pada dirimu?
Mengertikah ada yang tidak lazim dari hatimu?
Bagaimana dengan kondisi hati dan imanmu pula?
Baik-baik sajakah ia?
Atau justru ia sedang terjerembab lelah?



Sahabat,
Karakteristik hati memang demikian
Ia akan senang dimanjakan dan dipenuhi kebutuhannya
Dengan cara apapun dan metode yg bagaimanapun
Terlepas dari Tuhanmu senang ataupun tidak dengan cara itu
Karena hati bukanlah makhluk berakal yang dapat berbuat sesuai mau Tuhannya
Hati hanya dapat bertindak sesuai dengan parameter bahagianya
Ya.. karena hati hanya tahu kata bahagia atau sakit
Senang atau terluka..

Sahabat,
Untuk bahagianya hati selalu punya banyak cara
Untuk terluka pun hati punya banyak jalan
Dan pilihan kitalah sebagai yang punya hati
Untuk kemudian menunjuk jalan terbaik bagi hati kita
Agar hati dapat bahagia dan terluka tanpa membuat Tuhan menjadi murka

Dalam hidup, mungkin saja hati kita terpeleset dalam lingkungan yang melenakan
Tidak hanya satu atau dua waktu
Karena syaitan slalu ingin masuk ke dalam hati kita berkedok nafsu durjana
Hingga akhirnya nafsu yang menuntun hati kita dalam merasakan
Hingga perlahan sakit lalu mati

Sahabat,
Sungguh dalam hati kecilku Aku sangat ingin menghentikanmu dari khilafmu ini
Aku ingin menarikmu agar tidak terjerumus terlalu dalam
Aku ingin terus mendampingi dalam kesakitan hatimu kini
Aku pun tak ingin kematian hati itu kan melandamu suatu saat nanti

Namun kutahu itu sangat sulit untuk kuperbuat
Hatimu adalah daerah kekuasaanmu
Dan hanya kau yang dapat menguasainya
Pilihanmu untuk menentukan apa yang seharusnya menguasainya
Dan Aku??
Sampai saat ini hanya mampu berharap
Berdoa tanpa putus
Agar Tuhanmu mengembalikan hatimu dengan segala bahagia dan lukamu
Yang dulu pernah ada
Sesaat sebelum kau matikan saat bertemu denganku..

Friday, September 11, 2009

Menggadaikan Militansi (Sebuah Kontemplasi bersama)

Ada seorang mantan ADK seniorku di Semarang dulu yg mengatakan bahwa seorang kader dakwah benar-benar dapat dikatakan kader jika ia sudah tidak ada di lingkungan kampus paling tidak selama 2 tahun. Jelas saja, kampus itu kan memang zona aman untuk para aktivis. Khilaf sedikit, sudah ada yang menegur dan memberi taujih yang panjang-panjang. Dengan demikian Syaitan pun menjadi agak kekurangan celah untuk masuk dan mempengaruhi aktivitas para ADK tersebut.

Lain halnya ketika kita sudah masuk dunia heterogen setelah tidak beraktifitas di kampus lagi. Banyak hal-hal yang dianggap salah semasa masih berada di zona aman dahulu yang lantas menjadi batas ambang kewajaran yang harus bisa ditoleransi di sini. Sebetulnya itu tidak menjadi masalah yang berarti tatkala saat melakukan 'kewajaran' tersebut hati kita masih merasa tidak enak atau ketidaknyamanan yang berarti. Namun, ini menjadi masalah manakala hati kita justru larut dan menikmati hal-hal salah yang masih dianggap wajar itu. Di situlah corong utama pintu masuknya syaitan yang nantinya dapat mempengaruhi konsistensi kita dalam mempertahankan status aktifis dakwah yang kita sandang.

Nah, saat hal ini sudah benar-benar terimplementasikan dengan kuat dalam keseharian kita, wajar saja jika kita semakin hari semakin berlaku minus dan meninggalkan nilai-nilai kepahaman kita akan adab-adab yang sesungguhnya. Lantas, di mana hasil tarbiyah kita selama beberapa tahun belakangan ini? Menjadi produktif pun tidak, menjadi permisif iya... Masya ALLAH!!

Ikhwah Fillah...
Berapa banyak militansi yang telah kita gadaikan hanya untuk membaur dan diterima oleh lingkungan sekitar kita? Berapa ayatNya yang telah kita lewati hingga kita dapat mewajarkan semua ini? Berapa banyak kewajaran yang kini justru kita klaim sebagai suatu kebiasaan?

Sekali lagi..
Dakwah memang memaksa kita untuk membaur di dalamnya..
Dakwah memang mengharuskan kita untuk lekat dengan obyeknya..
Dakwah memang mengkhususkan kita untuk mencintai proses di dalamnya..

Namun,
Dakwah itu juga membutuhkan amunisi ruh sebagai mesinnya
Dakwah itu juga memerlukan tadhiyah sebagai jaminannya, dan
Dakwah itu juga berjalan bersama militansi jundinya..

Allahu'alam bishowab

Wednesday, September 9, 2009

Beginikah Manusia Modern Memaknai Hidupnya...?

Rabbi, hari ini adalah ujian lanjutan bagiku untuk terus berada dalam lingkaran pengabdian pada instansi pemerintah ini. Bagaimana tidak, ada saja keluhan dan kalimat2 sinis yang terlontar dari lisan rekan2 sekantor akibat ketidakadilan atasan. Kalau dilihat dari nada dan ekspresi mereka saat mengucapkan luapan demi luapan emosi itu, rasa-rasanya hati mereka sudah terbakar habis oleh rasa iri dan dengkinya. Pada awalnya memang tidak menjadi masalah untukku karna alhamdulillaah... aku sama sekali tidak merasa dirugikan oleh ketidakadilan atasanku tersebut. Namun, semakin lama tiba2 aku merasa ada tekanan lain di dalam batinku. Miris...

Dunia dengan segala kemilaunya telah membutakan manusia2 pemujanya hingga mata hatinya pun tak lagi sehat dalam menatap hidup di depannya. Semua kesuksesan dan keberhasilan dalam hidup ini sudah berhasil dinominalkan. Dengan demikian, tak akan ada lagi apresiasi dan ketakjuban lain dalam bentuk selain rupiah. Sungguh mengenaskan!

Sesungguhnya apa yang dewasa ini telah terjadi (menurut Saya) adalah akibat dari pola didik yang salah. Pola didik bangsa kita sudah terlanjur memaknai suatu keberhasilan dengan materi semata. Kita lihat contoh mayoritas orang dalam mengapresiasi pencapaian sesamanya. Hampir semuanya berhenti pada tahap nominal. Mungkin memang ada yang lebih dari itu. Tapi tidak banyak. Maka menjadi wajar saja jika seorang anak yang naik kelas atau mendapat ranking meminta untuk dibelikan ini itu sebagai hadiahnya. Saya tidak mengatakan ini salah. Jelas tidak. Hanya saja, hal2 kecil dan sederhana seperti ini pun dapat berperan untuk mengukur kesuksesan hidup Sang anak selanjutnya. Dan jika kejadian dan kebiasaan ini terus berulang, maka tatkala kegagalan datang, mungkin akan menimbulkan umpatan2 karna apresiasi nominal tidak dapat dicapai. Kurang lebih seperti itu.

Lantas, akankah kebiasaan ini kan terus menganakcucu pada keturunan kita selanjutnya??


Wahai manusia, tidakkah kau berfikir bahwa apa yang kalian perebutkan tak ubahnya layak pisang2 menguning dan matang bagi sekumpulan kera? Semua hanya dapat menghilangkan lapar dahagamu namun tidak dapat melapangkan kuburmu. Dan proses itu tak akan usai karena memang maumu tak akan ada habisnya. Berhentilah untuk menominalkan dirimu secara berlebihan. Karena memang kau lebih berharga daripada lembaran2 rupiah yang kau targetkan dalam hidupmu itu.



Belajarlah dari manusia2 malam yg pandai menjaga keikhlasan mereka dengan sempurna. Mereka tidak pernah mendapat apresiasi di tengah malam. Namun hasil kerja mereka sangat layak untuk mendapat ganjaran yang lebih. Berkat mereka jalan2 protokol menjadi bersih dan bebas sampah. Sehingga kita pun akan nyaman melintas. Karena mungkin mereka tidak terbiasa dengan apresiasi manusia yang berhenti pada tahap nominal. Dan mungkin itu pulalah yang menjadi alasan mengapa keikhlasan hatinya tidak terkotori oleh nafsu2 durjana...

Allahu'alam bishowab.

Tuesday, September 8, 2009

Beginilah Jalan Dakwah mengajarkan Kami...

Beginilah jalan dakwah mengajarkan Kami
Untuk tidak mudah patah dalam setiap kegagalan
dan tidak begitu saja menyerah pada keadaan
Karna dakwah tidak pernah melahirkan seorang pecundang
Hanya ada dua jalan yang sama-sama menang
'isy kariiman aumut syahiidan..

Beginilah jalan dakwah mengajarkan kami
Untuk tetap setia dan loyal pada setiap amanah yang dititipkan
Keluh dan kesah bukanlah aral untuk mencium aroma perjuangan
Karena azzam telah mengikat diri pada kesucian niatan
Untuk bertakbir penuh kemenangan pada saatnya datang

Beginilah jalan dakwah mengajarkan kami
Untuk tidak mudah membagi cinta selain untuk Tuhan
Meski racun dunia telah menebar kesesatan
Dan terus mencoba mengunci hati dari kebenaran



Saudaraku, adakalanya kita merasa lelah dan ingin berhenti. Adakalanya pula kita merasa jenuh dan merasa tak berguna lagi. Namun, apalah yg dakwah minta dari kita? Tidak ada!
Karena sampai kapanpun dakwah tidak pernah membutuhkan kita. Dakwah tidak pernah merindukan kita manakala kita memutuskan untuk rehat terlalu lama. Dakwah pun masih akan terus berjalan tanpa kesertaan kita dalam barisannya.
Namun... apa jadinya kita tanpa dakwah? Layaknya seonggok daging hidup yang kehilangan orientasi nyata bukan? Jika tidak ridhoNYA, apa lantas yg kita targetkan? Hartakah.. Kekuasaankah.. atau wanita?
Jika kini kau sedang bersemangat untuk terus berada di dalam barisannya, lihatlah sekelilingmu. Mungkin saja sedang ada seorang partnermu yg hampir jatuh dan tersingkir dari barisan mulia ini. Ulurkanlah tanganmu dan tariklah ia untuk masuk kembali dalam shaf di belakangmu. Namun, jika kau kini justru hampir terjatuh dan keluar track, maka ulurkanlah pula tanganmu untuk menggapai saudaramu yang masih berbaris rapi dalam shaf indah itu.

Beginilah jalan dakwah mengajarkan kami..
Untuk saling menjaga dari ketertinggalan dalam shaf mulia ini.
Allahu'alam bishowab.